User Tools

Site Tools


start

Table of Contents

Profil Pulau Biawak

Asal Usul Nama Pulau Biawak Indramayu

Asal mula nama pulau biawak muncul pada jaman Belanda yaitu pulau Bompys. Disebut pulau Bompys, karena di jaman Belanda jika ingin mencari ikan para nelayan maupun orang Belanda selalu menggunakan bahan peledak. Sedangkan masyarakat Indramayu menyebutnya pulau Biawak karena terdapat banyak satwa Biawak Dan Banyak hewan Lainnya juga tetapi Persebaran Biawak Lebih cepat dan banyak Terdapat lebih dari 100 ekor Biawak di pulau tersebut.

Sementara pada peta pulau Biawak dinamakan pulau Rakit, karena di sekeliling pulau terdapat banyak karang. Karang tersebut memiliki jarak dari pulau ke laut 100 meter sampai dengan 400 meter. Sehingga jika dilihat dari satelit persis seperti rakit. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar tersebut.

PuLau Biawak merupakan kepulauan yang terletak di Laut Jawa. Disebut kepulauan karena ada tiga pulau di kawasan ini, yakni Pulau Biawak, Pulau Candikian, dan Pulau Gosong. Secara administratif, Pulau Biawak masuk ke Kecamatan Indramayu, dengan jarak sekitar 28 mil laut atau sekitar 40 kilometer dari pantai utara Tirtamaya Indramayu.

Keberadaan pulau ini sangat berbahaya bagi alur pelayaran kapal-kapal laut yang melintas di kepulauan tersebut. Maka tak heran, bangsa Belanda semasa menjajah kepulauan Indonesia, mendirikan bangunan menara mercusuar. Mercusuar dengan ketinggian sekitar 65 meter itu dibangun oleh ZM Willem pada 1872. Ini terlihat dari papan nama yang bertuliskan “Onder De Efcering van Z.M. Willwm III. Koning des Nederlanden, ENZ. Opgerigt Ovh Draailicht 1872”. Hingga kini, bangunan itu masih berfungsi untuk memandu kapal-kapal besar maupun kecil yang melintas.

Pengelola Pulau Biawak Indramayu

Berdasarkan hasil wawancara petugas pengelola pulau biawak terdapat 2 orang pengelola utama pada bulan September tahun 2023. Yaitu bapak Taryono sebagai karyawan PPNP dan Wahyu, s. sebagai karyawan kontrak. Adapun syarat untuk menjadi pengelola pulau biawak adalah dengan cara mendaftar ke dinas perhubungan di tanjung priok Jakarta. Pak Tarno berasal dari Indramayu, dan Pak wahyu berasal dari Jakarta. Pak Taryono dan pak Wahyu sudah 15 tahun mengabdi menjadi pengelola pulau biawak. Pada tahun 2006 bekerja biasa dipulau sebelum ditugaskan dipulau biawak.

Mereka mendapatkan informasi pembukaan untuk menjaga mercusuar dipulau biawak tersebut, kemudian melamar dan diterima untuk menjadi pengelola pulau biawak dan menjaga mercusuar yang ada dipulau biawak atau rakit tersebut. Kementrian yang bertanggung jawab adalah kementrian perhubungan, Distrik Navigasi, Tanjung Priok. Adapun pengelola tersebut memiliki tugas utama yakni menjaga lampu mercusuar agar tetap menyala sebagai navigasi dalam memberitahu kapal nelayan maupun kapal-kapal lainnya bahwa ada pulau rakit atau biawak tersebut. Dalam melaksanakan tugas 2 pengelola tersebut memiliki pembagian waktu yakni selama 3 minggu dipulau rakit atau biawak tersebut setelah tertempuh selama 3 minggu tersebut maka pergantian pengelola untuk bergantian mengunjungi keluarga dirumah.

Kegiatan pengelola selama 3 minggu berada dipulau rakit atau biawak tersebut diantaranya, harus menjaga mesin diesel tetap dalam kondisi prima agar kinerja mesin tersebut tetap normal, merawat lingkungan mess mercusuar tersebut dengan bersih-bersih halaman, memotong rumput, dan merapihkan pohon yang ada.

Logistik selama menjadi pengelola didapatkan dari kementrian perhubungan navigasi Tanjung Priok per 6 bulan sekali dalam pendistribusian logistik tersebut. Perlakuan untuk biawak yang merupakan hewan endemik tersebut agar tetap hidup adalah dengan cara memberi makan dan menjaga agar tidak punah. Kesulitan dalam menjaga serta memelihara hewan adalah tidak terdapatnya fasilitas dalam menangkap ikan salah satunya tidak adanya jala untuk menangkap ikan yang merupakan makanan utama hewan biawak tersebut.

Pengelolaan hutan atau flora yang ada dipulau biawak terdapat kendala karena tidak ada utusan dalam pengelolaan mangrove dipulau rakit atau biawak tersebut karena hutan mangrove tersebut bukan tanggung jawab dari Dishub. Kondisi fasilitas sarana dan prasarana dipulau biawak atau rakit terutama mess untuk menginap cukup layak untuk ditinggali akses air cukup mudah karena terdapat sumur serta toilet siap digunakan dari mess 1 hingga 5, namun mushola tidak layak karena kurang terawat.

Saran dan masukan dari pengelola pulau biawak atau rakit terhadap pemerintahan kabupaten indramayu adalah 1) dermaga diperbaiki, agar akses dari laut menuju pulau pengujung tidak berbasah-basahan karena akeses dermaga yang rusak; 2) saling menjaga, lingkungan dan fasilitas yang ada dipulau biawak atau rakit bersama demi kelestarian yang ada dipulau biawak atau rakit tersebut; 3) perlu intensitas tinggi untuk mengelola pulau biawak atau rakit ini agar menjadi destinasi wisata unggulan yang ada. Perasaan selama menjadi pengelola dipulau biawak atau rakit adalah aman karena tidak ada satwa buas yang liar dan menyerang. Perompak juga tidak ada. Pulau biawak atau rakit ini perlu dilestarikan bukan hanya hewan biawak bahkan terumbu karang yang indah juga harus diperhatikan kelestariannya. Pengelolaan yang dilaksanakan secara umum oleh pemerintah indramayu adalah cukup jelek dikelola oleh pemda indramayu. Karena, infrasturuktur tidak dirawat sedemikian rupa hingga tidak dapat bertahan lama.

Suka dan duka dalam menjalani peran pengelola pulau biawak atau rakit. Sukanya adalah orang-orang bekunjung untuk berpariwisata juga hiburan dan bisa berbincang santai, namun duka ketika angin barat kencang melanda tidak ada perahu satupun mendarat di pulau itu karena kendala cuaca sehingga pulau sepi tidak ada pengunjung. Tindakan untuk menjaga serta merawat pulau biawak atau rakit ini adalah penambahan petugas (P3K, PPNPM) dan nelayan dalam menjaga kebersihan lingkungan pulau biawak atau rakit ini. Kesulitan dalam menjaga kelestarian hewan biawak ini adalah kesulitan mencari ikan karena kendala fasilitas jaring atau jala dalam menangkap ikan yang merupakan makanan utama bagi hewan biawak tersebut.

Konservasi Pulau Biawak Indramayu

Kondisi Geografis dan Gambaran Umum Pulau Biawak

Pulau Biawak dan sekitarnya adalah kawasan konservasi laut daerah yang terletak di sebelah utara Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat. Lokasinya sekitar 40 km dari Pantai Indramayu dengan posisi 05o56’002” LS dan 108o22’015” BT dengan luas 125 Ha. Dasar hukum Penetapan Pulau Biawak dan sekitarnya sebagai Kawasan Konservasi dan Wisata Laut adalah SK Bupati Indramayu No. 556/Kep.528 Diskanla/2004 yang dikeluarkan pada tanggal 7 April 2004. KKLD Pulau Biawak terletak di sebelah utara Indramayu dapat dijangkau dengan menggunakan kapal nelayan atau kapal sewaan. Akses menuju pulau ini berasal dari beberapa daerah sekitarnya, misalnya Brondong dan Karangsong. Untuk menuju pulau tersebut harus memakai perahu yang disewa dari nelayan karena tidak ada angkutan khusus yang berangkat setiap hari. Pada Perjalanan menuju Pulau Biawak dapat ditempuh dengan memakan waktu ± 2-4 jam.

Pulau Biawak dan sekitarnya yaitu terdiri dari tiga pulau kecil, yaitu Pulau Biawak atau yang dikenal juga dengan Pulau Rakit, Pulau Gosong, dan Pulau Candikian (Pulau Rakit Utara). Pulau Gosong tidak berpenghuni dan hanya terdapat ekosistem mangrove dan juga keindahan bawah laut terutama terumbu karang yang masih bagus. Dari Pulau Biawak, memakan waktu ± 1 jam ke pulau ini. Sementara itu, Pulau Cendekian terletak di sebelah timur Pulau Gosong dan sama dengan Pulau Gosong ini tidak berpenghuni, hanya terdapat ekosistem mangrove dan terumbu karang. Terumbu karang langsung dapat dijumpai pada kedalaman satu meter. Kondisi geografis pulau ini mempunyai tipe pasang surut ganda campuran dengan suhu permukaan laut yang hampir sama dengan Pulau Biawak, yakni sekitar 29oC. Karakteristik lainnya seperti DO berkisar 4-5,7 mg/L dengan pH 7,06. Untuk kondisi angin mempunyai kecepatan sekitar 0,5-1,8 m/s, sedangkan arus 0,15-1 m/s. Sesungguhnya nama pulau tersebut adalah Pulau Rakit, tetapi oleh Pemkab Indramayu dinamakan Pulau Biawak karena di pulau ini banyak dijumpai satwa liar yang justru menjadi ciri khasnya, yakni biawak (Varanus salvator). Satwa ini tergolong unik karena hidup di habitat air asin. Setiap menjelang matahari terbenam, puluhan biawak dengan panjang antara 20 cm hingga 1,5 m terlihat berenang di tepian pantai tengah berburu ikan untuk kebutuhan makannya. Setiap menjelang matahari terbenam, puluhan biawak terlihat berenang di tepian pantai.

Keunikan lain yang dimiliki Pulau Biawak adalah berdirinya sebuah mercusuar peninggalan Belanda. Pada masa pemerintahan belanda pulau ini telah dibuat Mercusuar yang digunakan sebagai petanda bagi hilir mudiknya perahu belanda. Mercusuar ini sekarang telah berumur 151 tahun dibangun pada masa pemerintahan Z.M. Willem III pada tahun 1872. Mercusuar ini terdiri dari ribuan anak tangga dengan tinggi kurang lebih sekitar 65 meter, dengan lampu suar bertenaga surya. Sampai sekarang mercusuar ini masih kokoh berdiri walaupun telah berapa kali mengalami perbaikan pada anak tangganya yang telah keropos dimakan oleh jaman dan masih berfungsi sebagai petanda bagi para nelayan atau pun kapal lainnya. Di pulau ini juga terdapat beberapa makam belanda dan syeh diantaranya adalah makam Syeh Syarif Hasan. Menurut kesaksian Pak Wahyu dan Pak Taryono (penjaga pulau), Syeh Sarif Hasan merupakan orang Cirebon yang menyebarkan agama islam di wilayah Jawa Barat

Di sisi lain, keberadaan mercusuar itu justu menjadi daya tarik lain dari pulau yang memiliki luas dataran karang sekitar 1.560 hektare dan berpasir putih itu. Dari jumlah pulau itu, sekitar 200 hektare areal yang ditumbuhi berbagai jenis pohon seperti mangrove, kelapa, alang-alang, dan banyak tumbuhan lainnya. Tak hanya itu, di pulau ini pun terdapat satwa liar yang justru menjadi ciri khasnya, yakni biawak (Varanus salvator). Satwa ini tergolong unik karena hidup di habitat air asin. Setiap menjelang matahari terbenam, puluhan biawak dengan panjang antara 20 centimeter hingga 1,5 meter terlihat berenang di tepian pantai. Satwa-satwa itu memang tengah berburu ikan untuk kebutuhan makannya. Untuk mencapai objek wisata yang berjarak sekitar 26 mil laut dari pesisir Indramayu itu, dapat ditempuh dari empat titik, yaitu Pelabuhan Balongan, Karang Song, Eretan, dan Dadap. Dengan menggunakan perahu, perjalanan menuju objek wisata bahari yang secara administratif masuk wilayah Desa Brondong, Kecamatan Indramayu, memakan waktu sekitar empat hingga lima jam.

Pulau ini berbentuk cincin seperti atol terdapat juga hewan bulu babi yang tampak saat sedang surut.

Luas wilayah pulau biawak yaitu 125 Ha. Dimana 80 ha berupa hutan bakau. Sementara ± 40 ha berupa pantai dan juga daratan.

Wilayah Konservasi Pulau Biawak

Terdapat tiga wilayah konservasi yang berada di Pulau Biawak, diantaranya Wilayah Terestrial, Pesisir Pantai, dan Zona Neritik. Masing-masing wilayah tersebut memiliki komponen abiotik dan biotik yang berbeda. Sebagaimana yang akan di bahas pada bagian berikut ini:

a. Komponen Abiotik

Berdasarkan data hasil kegiatan observasi, diketahui terdapat beberapa komponen abiotik yang paling menjadi tolak ukur sebagai pembanding antara ke-tiga wilayah konservasi. Data komponen abiotik tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Data hasil obserasi komponen abiotik di wilayah konservasi Pulau Biawak menunjukkan bahwa suhu di zona neritik (ekosistem terumbu karang) lebih rendah dibandingkan dengan dua lokasi lainnya. Hal tersebut disebabkan letak lokasi ekosistem terumbu karang berada di kedalaman 3-7 m dari permukaan air dengan intensitas cahaya kurang optimal, sehingga suhunya rendah. Begitu juga pada wilayah terestrial yang memiliki suhu lebih rendah dibandingkan ekosistem pesisir pantai. Tingginya intensitas cahaya menyebabkan tingginya suhu udara dan rendahnya kelembaban udara di lokasi tersebut. Meskipun demikian, suhu tersebut termasuk dalam suhu normal (Poulter et al., 2009).

Tanah sebagai tempat tumbuh vegetasi berperan sebagai pencipta kondisi fisik tertentu, seperti kelembaban, kandungan air dan unsur hara. Kemampuan tanah dalam memberikan kelembaban dan hara sangat menentukan kualitas habitat suatu vegetasi. Pada kawasan ekosistem terestrial dan pesisir pantai tanahnya bersifat asam dengan pH 5,94 dan 6,14. Parameter faktor fisika-kimia pada tanah biasanya saling mempengaruhi. Kelembaban tanah, kadar air tanah dipengaruhi oleh tutupan tajuk, tipe lokasi serta curah hujan. Intensitas cahaya mempengaruhi faktor di atas secara tidak langsung. Banyaknya persentase cahaya yang masuk ke lantai hutan akan mengakibatkan kenaikan suhu, penguapan air dari tanah akan terjadi sehingga kadar air tanah dan kelembaban tanah akan rendah (Nursal et al., 2013).

b. Dominasi Flora dan Fauna

Berdasarkan data hasil kegiatan observasi, diketahui terdapat beberapa spesies flora dan fauna yang mendominasi di ke-tiga wilayah konservasi. Data dominasi flora dan fauna tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.

Pada Tabel 2. diketahui jenis vegetasi yang mendominasi di ekosistem terestrial adalah sukun, pandan, dan bakau. Tanaman bakau, juga dikenal sebagai mangrove, adalah tanaman yang tumbuh di wilayah pantai, khususnya di sekitar perairan laut dan payau. Pulau Biawak, seperti banyak pulau-pulau di daerah tropis dan subtropis, memiliki ekosistem bakau yang penting. Karakteristik tanaman bakau di Pulau Biawak bisa termasuk: 1)Toleransi terhadap Salinitas, 2) Memiliki akar udara yang tumbuh ke atas dari tanah ke udara untuk mengambil oksigen, 3) Daun Tahan Garam: Daun tanaman bakau sering memiliki mekanisme khusus untuk menghilangkan garam berlebih dan mengurangi penguapan air. 4) Menghasilkan anakan atau benih yang bisa berkecambah di pohon induknya sebelum jatuh ke tanah, 5) Toleransi terhadap pasang surut air laut.

Tanaman sukun banyak ditemukan di daerah yang berbatasan dengan ekosistem pantai. Tanaman sukun dapat tumbuh dalam berbagai macam kondisi ekologi, akan tetapi habitat terbaik untuk pertumbuhannya adalah di dataran rendah dengan iklim tropis. Tanaman sukun mampu tumbuh pada wilayah pantai yang umumnya memiliki kadar salinitas tinggi. Oleh karena itu tanaman sukun banyak dijumpai di wilayah tersebut. Sementara itu, tanaman pandan banyak dijumpai karena tanaman ini secara geografis mempu tumbuh pada 3.300 m dpl. Umumnya, tumbuhan pandan dapat tumbuh secara liar di habitat pesisir maupun area tropis dan subtropis, salah satunya adalah wilayah Indo-Malaysia dan Polinesia-Mikronesia maupun area Pasifik.

Adapun spesies fauna yang diketahui mendominasi di ekosistem terestrial adalah Biawak dan Rayap. Tidak ada data lebih lanjut mengenai bagaimana asal mula biawak bisa hadir dan mendominasi di Pulau Biawak. Namun, berdasarkan hasil kajian literatur mengatakan bahwa biawak hidup pada habitat semi akuatik dan berbagai habitat alami lainnya, seperti hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, dan hutan bakau. Spesies biawak yang berlimpah di Pulau Biawak diduga kuat karena keberlimpahan ikan sebagai sumber makanan serta sedikitnya aktivitas manusia di pulau tersebut, mengingat bahwa biawak merupakan salah satu spesies fauna yang memiliki perilaku “pemalu” atau jarang berinteraksi dengan manusia.

Sebagian besar jenis vegetasi yang ditemukan di ekosistem terestrial Pulau Biawak termasuk ke dalam jenis tumbuhan pohon, dengan karakteristik utama batang berkayu. Keberlimpahan jenis vegetasi pohon diduga kuat sebagai faktor utama berlimpahnya spesies rayap yang ada disana. Ketika kegiatan observasi dilakukan, banyak sekali dijumpai sarang rayap yang bergantung di batang pohon maupun di bawah pohon berkayu. Keberadaan tanaman berkayu pada daerah pinggir hutan dan hutan memungkinkan ditemukannya rayap, karena rayap jenis ini sering melakukan aktifitas foraging (mencari makan) di serasah hutan. Menurut Jones (2002), rayap memakan mikro-epifit seperti lichen, alga, dan lumut hati dan termasuk ke dalam rayap wood feeders dan pemakan gradien humus.

Data hasil observasi menunjukkan bahwa terdapat jenis vegetasi yang sama-sama mendominasi di ekosistem terstrial dan pesisir pantai, jenis vegetasi itu adalah Bakau (Rhizophora apiculata). Rhizophora apiculata merupakan spesies vegetasi asli ekosistem pantai yang tersebar pada daerah tropis meliputi Sri Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik (Aroca et al., 2012). Habitatnya memiliki iklim tropis dan tumbuh di pantai berpasir pesisir, dataran pasir karang atau tepi sungai, di rawa bakau di permukaan laut dan juga di pedalaman dekat sungai di lereng bukit kapur. Pohon ini toleran terhadap garam. Buahnya dapat mengapung di laut yang di mana hal ini menyebabkan penyebarannya yang luas di banyak pulau dan pantai (Sourav, 2019).

Pasir Putih di Pulau Biawak memiliki bentuk ekosistem mangrove. Vegetasi ini telah beradaptasi dengan kondisi pantai yang ada, dengan mampu tumbuh pada kawasan lahan kering yang berada di kawasan pesisir. Fungsi ekosistem mangrove, selain melindungi pantai dari abrasi, ekosistem ini juga berfungsi dalam proteksi intrusi air laut dan sebagai habitat beragam fauna di kawasan tersebut (Sukistyanawati et al., 2016).

Selain bakau, pada ekosistem pesisir pantai juga ditemukan spesies alga cokelat (Padina australis) yang berlimpah. Padina australis ditemukan hidup di bebatuan pada rataan terumbu karang di pinggiran pantai, baik di tempat-tempat yang terkena hempasan ombak maupun yang terlindungi. Padina australis di alam dapat dijumpai tumbuh pada substrat pasir dengan kedalaman air laut 10 – 30 cm, suhu 27,25 – 29,75°C dan salinitas 32 – 25 ppt. Penyebaran Padina australis meluas hingga di Perairan Pasifik Selatan dan Perairan Samudera Hindia. Oleh karena itu, alga jenis ini sangat mudah sekali ditemukan di Indonesia.

Ikan jarum dan kelomang merupakan spesies fauna yang mendominasi di ekosistem pesisir pantai. Hal itu dikarenakan ikan jarum merupakan makhluk yang tersebar luas, dengan beberapa spesiesnya ditemukan di Samudera Pasifik, Samudera Atlantik bagian barat, dan Laut Mediterania. Ikan jarum biasanya berenang di dekat permukaan perairan pantai. Sementara itu, daerah pesisir pantai meliputi wilayah berlumpur, berpasir, berbatu dan ekosistem mangrove merupakan habitat asli dari kelomang.

Di pinggir pantai, kita bisa melihat penangkaran biota laut dan juga pembudidayaan dalam bentuk keramba apung, seperti ikan hias laut, ikan kerapu dan juga rumput laut.

Berdasarkan video tersebut jenis spesies fauna yang mendominasi di ekosistem terumbu karang pada kedalaman 3-7 m adalah Karang Montipora (Montipora foliosa). Diketahui kondisi geografis Pulau Biawak mempunyai tipe pasang surut ganda campuran dengan suhu permukaan laut sekitar 29°C. dengan kondisi angin mempunyai kecepatan sekitar 0,5-1,8 m/s, sedangkan arus 0,15-1 m/s. Menurut Suharsono (2008) menyatakan bahwa Montipora foliosa umumnya ditemukan di kedalaman 1-3 m dan sangat melimpah di dekat tubir. Berdasarkan karakteristik pantai di Pulau Biawak dimana keadaan peairan cukup tenang, maka kondisi ini sangat mendukung perkembangan Montipora foliosa.

wilayah konservasi biasanya merupakan area yang diidentifikasi dan dilindungi oleh pemerintah atau organisasi lingkungan untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan ekosistem tertentu.

Pihak Terkait Pelaku Konservasi

Dalam rangka menjaga keberlanjutan ekosistem terumbu karang di perairan pulau Biawak dan sekitarnya, upaya pengelolaan terus dilakukan. Berikut ini adalah kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah konservasi di Pulau Biawak tersaji pada Tabel berikut ini.

Kegiatan rehabilitasi berupa transplantasi terumbu karang, apartemen ikan, penanaman mangrove, dan instrumen lainnya yang dapat dijadikan terumbu karang buatan seperti ban bekas diharapkan mampu menjasi alternatif pemecahan masalah yang terjadi di ekosistem terumbu karang dan ekosistem mangrove. Saat ini, kegiatan tersebut telah diaplikan di berbagai negara dengan tujuan tidak hanya untuk meingkatkan sumberdaya hayati laut, tetapi mempunyai tujuan-tujuan lain seperti perlindungan pantai. Bangunan tersebut telah berhasil menyediakan habitat bagi berbagai organisme bentik seperti udang karang, tiram, abalone, dan rumput laut serta digunakan secara efektif untuk meng-halangi beroperasinya kapal-kapal trawl ke perairan pantai (Hutomo, 1991). Pulau-pulau harus dapat dikelola oleh sumber daya lokal yang kreatif dengan menekankan pada aspek pentingnya pengelolaaan berkelanjutan. Selain itu, adanya campur tangan dari dinas terkait di daerah seperti DKP, Dinas Pariwisata, Tata Ruang, Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas perhubungan. Instansi daerah ini akan bekerjasama dengan pusat.

Flora Endemik Pulau Biawak Indramayu

Berdasarkan kegiatan ekspedisi biokonservasi yang dilakukan di Pulau Biawak Kabupaten Indramayu, ditemukan beberapa spesies flora dan fauna endemik atau spesies asli yang tumbuh dan berasal dari wilayah tersebut. Beberapa spesies flora yang ditemukan termasuk ke dalam kelompok tumbuhan pohon, semak, perdu dan herba, serta alga. Sebagian spesies flora ditemukan di ekosistem terestrial dan pesisir pantai. Spesies flora endemik yang ditemukan pada kegiatan ekspedisi dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

Spesies flora hasil temuan kegiatan ekspedisi biokonservasi di Pulau Biawak, memiliki karakteristik, peran atau kegunaan, dan keunikan masing-masing. Berikut adalah deskripsi mengenai spesies flora dan fauna yang ditemukan di pulau Biawak.

Tumbuhan Pohon

1. Kelapa (Cocos mucifera L.)

Kelapa memiliki akar serabut, sebagian akar tumbuh mendatar dekat permukaan tanah. Jenis akar serabut pada pohon kelapa memiliki tebal rata-rata 1 cm. Pohon kelapa hanya mempunyai satu titik tumbuh terletak pada ujung dari batang, sehingga tumbuhnya batang selalu mengarah ke atas dan tidak bercabang. Tanaman ini tidak berkambium, sehingga tidak memiliki pertumbuhan sekunder. Luka-luka pada tanaman kelapa tidak bisa pulih kembali karena tanaman kelapa tidak membentuk kalus (callus).

Struktur daun kelapa terdiri atas tangkai (pelepah) daun, tulang poros daun, dan helai daun. Tangkai daun terletak di bagian pangkal dengan bentuk melebar. Daun pada pohon kelapa bersirip genap dan bertulang sejajar. Helai daun berbentuk menyirip. Bunga kelapa merupakan bunga tongkol yang dibungkus selaput upih yang keluar dari sela-sela pelepah daun. Buahnya termasuk buah batu.

Taksonomi
Kingdom : Plantae
Sub Kingdom : Tracheobionta
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Sub Kelas : Arecidae
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Cocos
Spesies : Cocos nucifera

Tumbuh di daerah tropis. Persebaran kelapa berasal dari Amerika selatan, namun ada yang menyebutkan berasal dari kawasan tropis Asia Selatan. Setiap bagian pohon kelapa memiliki manfaat untuk kehidupan manusia. Seperti untuk bahan olahan makanan dan minuman, pengobatan herbal, kerajinan tangan, bahan industri bangunan, dan bahan bakar (Salsabila et al., 2022). Air kelapa mengandung asam amino arginin, alanin, sistein, serin dan valin. Buah kelapa mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan zat-zat mineral. Ditemukan di Wilayah Terestrial dan Pesisir Pantai

2. Cemara laut (Casuarina equisetifolia)

Deskripsi : Memiliki jenis akar berbentuk akar tunggang. Warna akar pohon cemara jenis ini cenderung putih kotor atau kekuningan. Batangnya tegak lurus dan kurang lebih berdiameter 100 centimeter. Ranting cemara laut menyerupai jarum dengan panjang mencapai 30 centimeter. Warna kulit kayu cemara laut adalah abu-abu kecoklatan hingga coklat gelap, dengan bagian dalam kulit yang berwarna kemerahan. Daun cemara laut berbentuk jarum dan tersusun melingkar antara 6-10 helai setiap ruas nya. Daun cemara laut akan mudah gugur terayun oleh angin, tumbuhnya merunduk dengan warna yang hijau keabu-abuan. Cemara laut termasuk konifer yang memiliki runjun (cone) sebagai organ pembawa biji. Buah cemara laut ini berbentuk bulat memanjang dan kerucut, dalam buah tersebut terdapat banyak biji yang nampak seperti bersayap.

Taksonomi
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Casuarinales
Famili : Casuarinaceae
Genus : Casuarina
Spesies: Casuarina equisetifolia

Ekologi: Pohon ini tidak hanya hidup di pesisir pantai, tetapi juga di tanah rawa, bukit berpasir dan tanah kering (Harjadi, 2017). Hidup pada ketinggian hingga 1.400 meter dpl. Tumbuh paling baik dengan suhu tahunan rata-rata berkisar 10-35°C

Persebaran: Cemara laut adalah tanaman asli daerah tropis dan subtropis di Asia Tenggara dan Australia. Persebarannya mulai dari Australia Utara sampai Malaysia, Myanmar Selatan, Thailand, Melanesia dan Polynesia. Banyak di budidayakan di semenanjung India. Sekarang sudah ada di wilayah Eropa seperti Prancis, Italia dan Rumania.

Kegunaan: Manfaat ekologi untuk rehabilitasi lahan dan konservasi wilayah pesisir, meningkatkan unsur hara tanah, menahan abrasi pantai, dan memperbaiki iklim mikro. Selain itu bermanfaat untuk kesehatan kulit, obat batuk, obat cacing dan antioksidan. Kandungan: Vitamin C, minyak atsiri, alkaloid, polifenol, saponin, dan tanin (Siregar et al., 2022).

Ditemukan di Wilayah: Terestrial dan Pesisir Pantai

3. Ketapang (Terminalia catappa)

Deskripsi : Pohon besar, tingginya mencapai 40 m dan gemang batang sampai 1,5 m. Bertajuk rindang dengan cabang-cabang yang tumbuh mendatar dan bertingkat-tingkat; pohon yang muda sering tampak seperti pagoda. Pohon-pohon yang tua dan besar acap kali berbanir (akar papan), tingginya bisa hingga 3 m (Thomson & Evans, 2006). Bunga-bunga berukuran kecil, terkumpul dalam bulir dekat ujung ranting, panjang 8–25 cm, hijau kuning. Bunga tak bermahkota, dengan kelopak bertaju-5, bentuk piring atau lonceng, 4–8 mm, putih atau krem. Benang sari dalam 2 lingkaran, tersusun lima-lima. Buah batu bulat telur gepeng, bersegi atau bersayap sempit, hijau-kuning-merah, atau ungu kemerahan jika masak (Steenis & Eyma, 1988).

Taksonomi
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Myrtales
Famili : Combretaceae
Genus : Terminalia
Spesies: Terminalia catappa

Ekologi: Pohon ini cocok dengan iklim pesisir dan dataran rendah hingga ketinggian sekitar 400 m dpl. curah hujan antara 1.000–3.500 mm pertahun, dan bulan kering hingga 6 bulan.

Persebaran: Ketapang merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara dan umum ditemukan di wilayah ini, kecuali di Sumatra dan Kalimantan yang agak jarang didapati di alam. Pohon ini biasa ditanam di Australia bagian utara dan Polinesia; demikian pula di India, Pakistan, Madagaskar, Afrika Timur dan Afrika Barat, Amerika Tengah, serta Amerika Selatan (Valkenburg & Waluyo, 1991).

Kegunaan: Pepagannya dan daun-daunnya dimanfaatkan orang untuk menyamak kulit, sebagai bahan pewarna hitam, dan juga untuk membuat tinta (Heyne, 1987). Di kalangan penggemar ikan hias daun-daun ketapang dapat memperbaiki kesehatan dan memperpanjang umur ikan. Daun ketapang mengandung senyawa alami yang dapat membantu meningkatkan kesehatan ikan, seperti zat antiseptik, antioksidan, dan anti-inflamasi. Senyawa ini dapat membantu mencegah infeksi bakteri, virus, dan parasit pada ikan.

Kandungan: Pepagan menghasilkan zat pewarna kuning kecokelatan sampai warna zaitun, dan mengandung 11–23% tanin; sementara daun-daunnya mengandung 12 macam tanin yang dapat dihidrolisis (Valkenburg & Waluyo, 1991). keunikan dari buah ketapang yaitu bijinya dapat dikonsumsi bahkan tanpa harus diolah terlebih dahulu

Ditemukan di Wilayah: Terestrial

4. Waru (Hibiscus tiliaceus)

Deskripsi : Waru atau baru (Hibiscus tiliaceus, suku kapas-kapasan atau Malvaceae), juga dikenal sebagai waru laut, dan dadap laut (Pontianak) telah lama dikenal sebagai pohon peneduh tepi jalan atau tepi sungai dan pematang serta pantai. Walaupun tajuknya tidak terlalu rimbun, waru disukai karena akarnya tidak dalam sehingga tidak merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Waru dapat diperbanyak dengan distek. Namun, aslinya tumbuhan ini diperbanyak dengan biji. Memakai stek untuk perkembangbiakan waru agak sulit, karena tunas akan mudah sekali terpotong (Heyne, 1987).

Taksonomi
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordom : Malvales
Famili : Malvaceae
Genus : Hibiscus
Spesies: Hibiscus tiliaceus

Ekologi: Tumbuhan ini tumbuh baik di daerah panas dengan curah hujan 800 sampai 2.000 mm. Waru biasa ditemui di pesisir pantai yang berpasir, hutan bakau, dan juga di wilayah riparian. Waru tumbuh liar di hutan dan di ladang, kadang-kadang ditanam di pekarangan atau di tepi jalan sebagai pohon pelindung. Pada tanah yang subur, batangnya lurus, tetapi pada tanah yang tidak subur batangnya tumbuh membengkok, percabangan dan daun-daunnya lebih lebar (Dalimartha, 2000).

Persebaran: Waru tumbuh menyebar di daerah tropis, terutama di seluruh kepulauan di Indonesia. Habutat waru juga terdapat di pantai-pantai Asia Tenggara, Oseania dan Australia utara dan timur. Diintroduksi ke Australia barat daya, Afrika bagian selatan, serta Hawaii; di mana menjadi liar di sana (Mindawati, 2019).

Manfaat: Daunnya dapat dijadikan pakan ternak, atau yang muda, dapat pula dijadikan sayuran. Bisa juga, untuk menggantikan daun jati dalam proses peragian kecap. Daun muda yang diremas digunakan sebagai bahan penyubur rambut. Daun muda yang direbus dengan gula batu dimanfaatkan untuk melarutkan (mengencerkan) dahak pada sakit batuk yang agak berat (Dalimartha, 2000).

Kandungan: Daunnya mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol, sedangkan akarnya mengandung saponin, flavonoida, dan tanin.

Ditemukan di Wilayah: Terestrial

5. Kedongdong Jaran (Spondias dulcis)

Deskripsi : Tanaman ini memiliki system perakaran tunggang. Akar berbentuk silindris dengan tudung akar berbentuk bulat yang tumpul. Memiliki batang berkayu (lignosus) yang sifatnya kuat dan keras. Bentuk batang kedondong silindris dan tumbuhnya tegak lurus ke atas, memiliki percabangan bertipe simpodial. Tanaman dengan daun majemuk. Daun kedondong berbentuk jorong atau oval dimana pangkal daunnya runcing (acutus) dengan ujung meruncing (acuminatus). Bunga kedondong adalah bunga dengan dua kelamin (hermaprodit) yakni jantan dan betina. Buah kedondong berbentuk lonjong dan termasuk buah sejati tunggal. Diameter buah sekitar 5 cm dan bagian dalam daging memiliki banyak serat.

Taksonomi
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Sapindales
Famili : Anacardiaceae
Genus : Spondias
Spesies: Spondias dulcis

Ekologi: Tanaman yang hidup di daerah tropis dengan curah hujan tinggi. Persebaran: Persebaran alami di Amerika Samoa, di Indonesia merupakan spesies introduksi

Kegunaan: Buah segarnya dikonsumsi secara langsung, sebagai pengobatan alternatif untuk antioksidan, antiinflamasi dan menurunkan hipertensi. Kandungan: Vitamin C, alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosa (Kristiani, 2018). Ditemukan di Wilayah: Terestrial

6. Mengkudu (Morinda citrifolia L.)

Deskripsi: Pohon mengkudu tingginya antara 4–6 m. batang bengkok-bengkok, berdahan kaku, kasar, dan memiliki akar tunggang yang tertancap dalam. Kulit batang cokelat keabu-abuan atau cokelat kekuning-kuningan, berbelah dangkal, tidak berbulu, dan anak cabangnya bersegai empat. Tajuknya selalu hijau sepanjang tahun. Berdaun tebal mengilap. Daun mengkudu terletak berhadap-hadapan. Ukuran daun besar-besar, tebal, dan tunggal. Bentuknya jorong-lanset, tepi daun rata, ujung lancip pendek. Pangkal daun berbentuk pasak. Urat daun menyirip. Warna hijau mengilap, tidak berbulu. Bunga tersusun majemuk, perbungaan bertipe bongkol bulat, bertangkai 1–4 cm, tumbuh di ketiak daun penumpu yang berhadapan dengan daun yang tumbuh normal. Bunga banci, mahkota bunga putih, berbentuk corong. Buahnya termasuk buah majemuk.

Taksonomi
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Asteridae
Ordo : Rubiales
Famili : Rubiaceae
Genus : Morinda
Spesies : M. citrifolia

Ekologi: Tanaman ini tumbuh di dataran rendah hingga pada ketinggian 1500 m. Persebaran: Tanaman berbunga yang berasal daerah Asia Tenggara. Kegunaan: Digunakan untuk pengobatan alternatif seperti untuk menurunkan hipertensi, diabetes, dan menghilangkan nyeri pembengkakan sendi (Sari, 2015). Selain itu digunakan untuk mengadsoprsi minyak jelantah (Barau et al., 2015). Kandungan: Vitamin A, terpenoid, antibakteri, antiinflamasi, scolopetin, antikanker, xeronine, proxeronine. Ditemukan di Wilayah: Terestrial

Pada usia lima tahun mengkudu dapat menghasilkan hingga 9 kg buah per bulan hanya dari satu pohon. Setelah melewati usia ini, hasil buahnya bisa mencapai 226 kg buah per bulan setiap tanaman

7. Sukun (Artocarpus altilis)

Deskripsi : Pohon sukun (atau pohon timbul) umumnya adalah pohon tinggi, dapat mencapai 30 m, meski umumnya di pedesaan hanya belasan meter tingginya. Hasil perbanyakan dengan klon umumnya pendek dan bercabang rendah. Batang besar dan lurus, hingga 8 m, sering dengan akar papan (banir) yang rendah dan memanjang. Bertajuk renggang, bercabang mendatar dan berdaun besar-besar yang tersusun berselang-seling; berbagi menyirip dalam, liat agak keras seperti kulit, hijau tua mengkilap di sisi atas, serta kusam, kasar dan berbulu halus di bagian bawah. Kuncup tertutup oleh daun penumpu besar yang berbentuk kerucut. Semua bagian pohon mengeluarkan getah putih (lateks) apabila dilukai.

Taksonomi
Kingdom:Plantae
Divisi :Angiospermae
Kelas :Mesangiosper
Ordo :Rosales
Famili :Moraceae
Genus :Artocarpus
Spesies:Artocarpus altilis

Ekologi: Sukun menyukai iklim tropis: suhu panas (20-40˚C), banyak hujan (2000–3000 mm pertahun) dan lembap (lengas nisbi 70-90%), dan lebih cocok di dataran rendah, di bawah 600 mdpl, meski dijumpai sampai sekitar 1500 m dpl (Smith et al., 2018).

Persebaran: Asal usul sukun diperkirakan dari kepulauan Nusantara sampai Papua. Mengikuti migrasi suku-suku Austronesia sekitar 2000 tahun sebelum Masehi, tanaman ini kemudian turut menyebar ke pulau-pulau di Pasifik. sukun menyebar ke Jawa dari Maluku.

Kegunaan: Di pulau-pulau Pasifik, kelebihan panen buah sukun akan dipendam dalam lubang tanah dan dibiarkan berfermentasi beberapa minggu lamanya, sehingga berubah menjadi pasta mirip keju yang awet, bergizi dan dapat dibuat menjadi semacam kue panggang. Sukun dapat pula dijadikan keripik dengan cara diiris tipis dan digoreng (Verheij & Coronel, 1997).

Kandungan: Buah sukun (tak berbiji) adalah bahan pangan penting sumber karbohidrat di berbagai kepulauan di daerah tropik, terutama di Pasifik dan Asia Tenggara. Ditemukan di Wilayah: Terestrial

8. Bakau (Rhizophora apiculata)

Deskripsi : Pohon dengan ketinggian mencapai 30 m dengan diameter batang mencapai 50 cm. Memiliki perakaran yang khas hingga mencapai ketinggian 5 meter, dan kadang-kadang memiliki akar udara yang keluar dari cabang. Kulit kayu berwarna abu-abu tua dan berubah-ubah. Berkulit, warna hijau tua dengan hijau muda pada bagian tengah dan kemerahan di bagian bawah. Gagang daun panjangnya 17-35 mm dan warnanya kemerahan. Unit & Letak: sederhana dan berlawanan. Bentuk: elips menyempit. Ujung: meruncing. Ukuran: 7-19 x 3,5-8 cm (Alappatt, 2008).

Taksonomi
Kingdom :Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Kelas :Magnoliopsida
Ordo :Myrtales
Famili :Rhizophoraceae
Genus :Rhizopora
Spesies :Rhizophora apiculata

Ekologi: Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang bercampur dengan pasir. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen (Aroca et al., 2012).

Persebaran: Sri Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik. Kegunaan: Cabang akar dapat digunakan sebagai jangkar dengan diberati batu. Di Jawa acapkali ditanam di pinggiran tambak untuk melindungi pematang. Sering digunakan sebagai tanaman penghijauan. Kandungan: Kayu dimanfaatkan untuk bahan bangunan, kayu bakar dan arang. Kulit kayu berisi hingga 30% tanin (per sen berat kering) (Hassan et al., 2018). Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

9. Beringin (Ficus benjamina L.)

Deskripsi : Tinggi pohon beringin dapat mencapai hingga 25 m. Tajuk pohon beringin berbentuk bulat dan melebar. Diamater batang pohon beringin dapat mencapai hingga 2 m. Pohon beringin termasuk jenis tanaman berakar tunggang dan memiliki akar berwarna coklat. Akar pada pohon ini menyebar sehingga sanggup berperan sebagai penopang pohon besar tersebut. Ketika sudah dewasa atau berusia tua, akan memunculkan akar gantung. Daun berbentuk oval, daun tunggal, bersilang berhadapan, lonjong, tepi rata, ujung runcing, pangkal tumpul, panjang 3-6 cm, lebar 2-4 cm, bertangkai pendek, pertulangan menyirip, berwarna hijau.

Ekologi: Habitat Pohon beringin tumbuh di hutan-hutan tropis, mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dengan ketinggian hingga 600 mdpl. Beringin juga termasuk jenis pohon yang dapat tumbuh dan beradaptasi dengan tempat-tempat yang sulit, seperti misalnya di pegunungan kapur/karst dan dapat beradaptasi dengan berbagai jenis tanah.

Taksonomi
Kingdom :Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Kelas :Magnoliopsida
Ordo :Urticales
Famili :Moraceae
Genus :Ficus
Spesies :Ficus benjamina L.

Persebaran: Secara umum wilayah penyebaran pohon beringin adalah di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, serta sebagaian Pulau Sulawesi. Negara-negara Asia lain yang juga menjadi habitat beringin adalah Malaysia, Brunei, Singapura, dan sekitarnya. Beringin juga tumbuh di Australia, sedangkan untuk wilayah Pasifik, pohon ini tersebar di Hawaii, Arizona, Florida dan Amerika.

Kegunaan: Beringin banyak dimanfaatkan sebagai tanaman peneduh. Perakaran berguna untuk kelestarian mata air, penahan erosi dan tanah longsor dan dimanfaatkan sebagai tanaman konservasi air dan ditanam di sekitar kawasan mata air (Suad et al., 2017). Kandungan: fenol, zat gula, asam amino, flavonoid, saponin dan alkaloid. Ditemukan di Wilayah: Terestrial

Tumbuhan Semak, Perdu, dan Herba

1. Palem Jari (Rhapis excelsa)

Deskripsi : Rhapis excelsa merupakan salah satu jenis palem yang tumbuh berumpun, daunnya berwarna hijau tua dan berbentuk kipas dengan 5 – 10 torehan dalam 1 daun dan memiliki lebar 15-50 cm. tanaman hias ini juga terdapat daun yang bentuknya cenderung indah dan mirip dengan kipas yang memiliki lebar berkisar antara 5 – 10 cm, daunnya tumbuh secara rumpun dan bergerombol. Adapun warna daun tersebut mempunyai warna hijau cenderung terang, biasanya daun tersebut tumbuh diantara sela-sela ranting dan juga batangnya yang Panjang (Zimmermann & Tomlinson, 1965).

Taksonomi
Kingdom :Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Kelas :Liliopsida
Ordo :Arecales
Famili :Arecaceae
Genus :Rhapis
Spesies :Rhapis excelsa

Ekologi: Di Indonesia tanaman ini berkembang dan tumbuh di dataran rendah maupun dataran tinggi. Palem ini dapat tumbuh baik pada ketinggian antara 50-500 m dpl. Persebaran: Tiongkok Selatan-Tengah, Tiongkok Tenggara, Hainan, Jepang, Nansei-shoto, dan Vietnam. iongkok, Yunnan; Cina Tengah Selatan, Hainan; Cina Tenggara, Guangdon, Fujian, Hongkong; Jepang.

Kegunaan: Tanaman ini banyak dimanfaatkan masyarakat luas sebagai tanaman hias di ruangan, di halaman (taman) bahkan sebagai bunga potong. Penampilannya yang anggun, menarik dan indah, terutama bila dibentuk rangkaian sangat disukai oleh masyarakat di negara-negara subtropis. Kandungan: Saponin, minyak atsiri, tanin, flavonoid, dan alkaloid. Ditemukan di Wilayah: Terestrial

2. Palem Raja (Rosytonea regia)

Deskripsi : Palem raja (Roystone regia) memiliki daging daun berwarna hijau tua. Permukaan daun palem raja jika dipegang terasa licin baik permukaan atas bawah dan daging daunnya keras seperti kertas serta bagian atas lebih memiliki hijau yang lebih tua daripada bagian bawahnya. Batang berbentuk bulat besar (Adzkia et al., 2020).

Batang (biasanya tidak bercabang) dengan daun di ujung batang seperti mahkota, batang bisa tinggi mencapai 30 m. Batang ini juga mempunyai permukaan halus dan kadang terdapat bekas pelepah daun yang gugur. Batangnya beruas-ruas dan tidak memiliki kambium sejati. Bila diiris melintang, batangnya memperlihatkan saluran pembuluh yang menyebar di bagian dalamnya. Luka batang ini cenderung tidak tertutup kembali, justru malah membesar atau malah membusuk (Henderson, 2006).

Taksonomi
Kingdom :Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Kelas :Liliopsida
Ordo :Arecales
Famili :Arecaceae
Genus :Roystonea
Spesies :Rosytonea regia

Ekologi: Palem raja (Roystonea regia) banyak ditemukan di pulau Jawa. Palem raja bisa ditemukan di berbagai tempat sampai dan bahkan mampu tumbuh pada ketinggian 1.400 m di atas permukaan laut (Aritsara & Cao, 2020). Persebaran: Tiongkok Selatan-Tengah, Tiongkok Tenggara, Hainan, Jepang, Nansei-shoto, dan Vietnam. iongkok, Yunnan; Cina Tengah Selatan, Hainan; Cina Tenggara, Guangdon, Fujian, Hongkong; Jepang.

Kegunaan: Sebagai tanam hias taman: sering kita lihat di taman-taman kota, sebagai penghias pekarangan rumah, sebagai kayu bakar (pelepah) di daerah pedesaan, sebagai pohon penyejuk udara, sebagai perkakas bangunan (Pangemanan, 2008). Kandungan: Sumber karbohidrat: baik dalam bentuk pati maupun gula contohnya aren. Ditemukan di Wilayah: Terestrial

3. Pandan (Pandanus tectorius)

Deskripsi : P. tectorius adalah pohon kecil yang tumbuh tegak hingga tingginya mencapai 4–14 m (13–46 kaki). Batang tunggalnya ramping dengan kulit cincin berwarna coklat. Tanaman ini berduri, lebarnya mencapai 4,5–11 m (15–35 kaki), dan bercabang pada ketinggian 4–8 meter (13–26 kaki). Ditopang oleh akar udara (akar penopang) yang dengan kuat menambatkan pohon ke tanah. Akar terkadang tumbuh di sepanjang cabang, dan tumbuh dengan sudut lebar sebanding dengan batangnya (M. J Datiles, 2015).

Pandanus tectorius bersifat dioecious, artinya bunga jantan dan betina tumbuh pada pohon terpisah, dengan bunga jantan dan betina yang sangat berbeda. Bunga jantan, yang dikenal sebagai racemes, berukuran kecil, harum, dan berumur pendek, hanya bertahan satu hari. Bunganya dikelompokkan menjadi 3 dan dikumpulkan dalam kelompok besar dikelilingi oleh bracts besar berwarna putih. kelompok ini panjangnya sekitar 1 kaki dan harum. Bunga betina menyerupai nanas (Wardah & Setyowati, 2009).

Taksonomi
Kingdom :Plantae
Divisi :Angiospermae
Kelas :Monokotiledon
Ordo :Pandanales
Famili :Pandanaceae
Genus :Pandanus
Spesies :Pandanus tectorius

Ekologi: Pandanus tectorius secara alami tumbuh di wilayah pesisir , seperti di tepi hutan bakau dan pantai, pada ketinggian dari permukaan laut hingga 610 m (2.000 kaki). Dibutuhkan curah hujan tahunan sebesar 1.500–4.000 mm (59–157 in) dan musim akan berfluktuasi dari basah ke kering (M. J Datiles, 2015).

Persebaran: Pandanus tectorius tumbuh asli dari Filipina melalui Samudera Pasifik hingga Hawaii. Ditemukan di beberapa bagian Malesia (Kepulauan Cocos (Keeling), Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Kepulauan Maluku dan Filipina), di seluruh Papuasia, dan di sebagian besar wilayah tropis Pasifik.

Kegunaan: Daun pohonnya sering digunakan sebagai penyedap masakan manis. Ini juga digunakan dalam masakan Sri Lanka, di mana daunnya digunakan untuk membumbui berbagai macam kari. Ditemukan di Wilayah: Terestrial

4. Petai Cina (Leucaena leucocephala)

Deskripsi : Pohon atau perdu memiliki tinggi hingga 20 m. Percabangannya rendah dan banyak, dengan pepagan berwarna kecokelatan atau keabu-abuan, berbintil-bintil dan berlentisel. Ranting-rantingnya berbentuk bulat torak, dengan ujung yang berambut rapat. Daunnya majemuk dan berbentuk menyirip rangkap, siripnya berjumlah 3-10 pasang, kebanyakan dengan kelenjar pada poros daun tepat sebelum pangkal sirip terbawah; daun penumpu kecil, bentuk segitiga, permukaannya berambut halus dan tepinya berjumbai.

Bunganya majemuk berupa bongkol bertangkai panjang yang berkumpul dalam malai berisi 2-6 bongkol; tiap-tiap bongkol tersusun dari 100-180 kuntum bunga, membentuk bola berwarna putih atau kekuningan. Buahnya polong berbentuk pita lurus, pipih dan tipis, dengan sekat-sekat di antara biji, hijau dan akhirnya cokelat kehijauan atau coklat tua apabila kering jika masak, memecah sendiri sepanjang kampuhnya.

Taksonomi
Kingdom :Plantae
Divisi :Magnoliophyta
Kelas :Magnoliopsida
Ordo :Fabales
Famili :Fabaceae
Genus :Leucaena
Spesies :Leucaena leucocephala

Ekologi: Lamtoro menyukai iklim tropis yang hangat (suhu harian 25-30 °C); Tanaman ini cukup tahan kering dan bisa ditanam di mana-mana, termasuk di wilayah dengan curah hujan antara 650—3.000 mm (optimal 800—1.500 mm) pertahun. Persebaran: Berasal dari Amerika tropis, tumbuhan ini sudah ratusan tahun diperkenalkan ke Jawa untuk kepentingan pertanian dan kehutanan, dan kemudian menyebar pula ke pulau-pulau yang lain di Indonesia.

Kegunaan: Sebagai pohon peneduh, pencegah erosi, sumber kayu bakar dan pakan ternak. Mampu meningkatkan kesuburan tanah karena akarnya memiliki nodul yang memfiksasi Nitrogen.bahan produksi kertas, dan menjadi obat antideuritik dan antidiabetes (Rachmatiah et al., 2018). Kandungan: Karbohidrat, protein, lemak, vitamin A, vitamin B1. Vitamin C dan kalsium (Suryanti et al., 2016). Ditemukan di Wilayah: Terestrial

Alga atau Ganggang

1. Ganggang Coklat (Padina australis)

Deskripsi: Padina sp merupakan rumput laut yang berasal dari kelas Phaeophyta (rumput laut coklat) yang terdapat secara melimpah selama bermusim-musim. Menurut Cribb (1996), Padina sp memiliki habitatnya di sekitar genangan air di atas batu karang pantai. Morfologinya berbentuk seperti kipas dengan diameter 3-4 cm yang tumbuh dalam lingkaran konsentris.

Warnanya coklat kekuningkuningan atau kadang kadang memutih karena terdapat perkapuran. Menurut Geraldino dkk. (2005), berbagai genus Padina memiliki segmensegmen lembaran tipis (lobus) dengan garis-garis berambut radial dan perkapuran di bagian permukaan thallus yang berbentuk seperti kipas. Tipe garis-garis berambut radial pada thallus tersebut menjadi dasar pembedaan antar genus Padina.

Taksonomi
Kingdom Plantae
Phylum Ochrophyta
Class Phaeophyceae
Ordo Dictyotales
Family Dictyotaceae
Genus Padina
Spesies Padina australis

Ekologi: Padina dapat ditemukan tumbuh bersama dengan Gracilaria, Polysiphonia, Chaetomorpha, dan Colpomenia. Dapat ditemukan berbagai macam habitat, mulai dari zona intertidal hingga subtidal. Padina ditemukan lebih produktif di perairan jernih pada kedalaman 15–20 m tetapi dapat dilihat hingga kedalaman 110 m (Silberfeld et al., 2013).

Penyebaran: Padina mendiami daerah tropis, meskipun genusnya juga dapat ditemukan di perairan beriklim dingin dari Amerika Selatan hingga Asia Tenggara (Win et al., 2022). Kegunaan: Padina telah terbukti mampu melakukan adsorpsi, secara efektif mengumpulkan banyak polutan dalam biomassanya. Sebagai bioindikator, Padina merespons perubahan suhu, cahaya, nutrisi, dan kontaminan lainnya di ekosistem laut (Celis-Pla et al., 2015).

Kandungan: Senyawa bioaktif, termasuk asam amino, sterol terpena, dan polisakarida sulfat dilaporkan ditemukan di Padina (Rushdi et al., 2021). Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

2. Alga Selada Air (Halimeda opuntia)

Deskripsi: Halimeda opuntia membentuk gumpalan kalsifikasi yang tebal dan sering bercabang, segmen seperti daun setinggi 25 cm (10 inci). Segmennya rata dan berbentuk ginjal atau kipas, tinggi hingga 8 mm (0,3 inci) dan lebar 10 mm (0,4 inci). Mereka memiliki tulang rusuk tengah yang berbeda dan tepi atas yang halus, berliku-liku, atau berbentuk lobus. Rizoid tumbuh di tempat ruasnya menyentuh substrat. Tanaman-tanaman tersebut sering berdesakan berdekatan membentuk hamparan rumputan yang lebat sehingga masing-masing tanaman tidak mudah terlihat.

Taksonomi
Kingdom Plantae
Phylum Chlorophyta
Class Bryyopsidophyceae
Ordo Bryopsidales
Family Halimedaceae
Genus Halimeda
Spesies Halimeda opuntia

Ekologi: Halimeda opuntia adalah alga hijau tersegmentasi, yang tumbuh subur di zona subtidal dangkal dan intertidal rendah, meskipun kedalamannya juga berkisar hingga 44 m. Morfologinya bervariasi menurut habitatnya, mulai dari hamparan tikar yang rapat, di pantai berbatu yang terbuka, hingga berkas bercabang yang lebih longgar di dinding vertikal yang teduh. Rumput laut ini membentuk pertumbuhan yang padat, dengan biomassa yang tinggi. menyediakan habitat bagi berbagai macam invertebrata. Segmennya yang mengalami kalsifikasi dapat menjadi sumber penting kalsium karbonat bagi sedimen (Kaplan 1988; Bandeira dan Pedrosa 2004)

Penyebaran: Halimeda opuntia ditemukan di Samudera Indo-Pasifik, Samudera Atlantik, Laut Mediterania, dan Laut Karibia serta di sekitar pantai Florida dan Bahama. Kegunaan: Halimeda merupakan komponen penting dalam geologi untuk kebutuhan konservasi komunitas karang yang efektif. Komunitas 13 spesies Halimeda menghasilkan lebih dari 2kg CaCO3/m2 per tahun. Jumlah ini tentu cukup efektif untuk digunakan sebagai komponen membangun skeleton untuk pembentukan terumbu karang (Drew, 1983; Freile, 1997).

Kandungan: Halimeda mengandung sedimen CaCO3. Hal ini menunjukkan Halimeda memiliki potensi yang tinggi untuk pembentukan karang. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

Fauna Endemik Pulau Biawak Indramayu

Keberadaan hewan biawak ini yang menjadikan obyek wisata atau daratan di tengah perairan Laut Jawa sebelah utara Indramayu disebut dengan Pulau Biawak. Meski hewan melata itu reptil liar, namun sepanjang kita tidak mengganggu tidak berbahaya, nyaris tidak terdengar insiden pengunjung diserang oleh biawak. Pulau Biawak ini mungkin seperti Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur. Secara ekslusif dihuni oleh biawak sebagai hewan endemik yang menjadi kekhasan pulau tersebut. Beberapa spesies fauna yang ditemukan termasuk ke dalam kelompok Malacostraca, Pisces, Holothuroidea, Crinoidea, Porifera, Cnidaria, Reptil, Insekta dan Aves. Beberapa spesies flora yang ditemukan termasuk ke dalam kelompok tumbuhan pohon, semak, perdu dan herba, serta alga. Sebagian spesies fauna ditemukan di wilayah daratan (terrestrial), seperti kelompok Reptil dan Insekta, sementara sisanya ditemukan di wilayah pesisir pantai dan laut dangkal (zona neritic) pada kedalaman sekitar 200 meter dari permukaan laut. Spesies fauna endemik yang ditemukan pada kegiatan ekspedisi dapat dilihat pada Tabel berikut ini.

FAUNA: Malacostraca

1. Kepiting (Scylla olivacea)

Deskripsi: Kepiting bakau (Scylla olivacea) merupakan salah satu dari keempat spesies kepiting bakau di dunia. Kepiting ini memiliki keunggulan dari ketiga spesies kepiting lainnya, yakni proses reproduksinya lebih singkat dan dapat bertahan hidup dalam kondisi ekstrim. Kepiting bakau berukuran sedang, lebar karapas maksimum sekitar 18 cm (pada hewan jantan). Lengan sepit (chelipeds) besar dan kokoh, dengan dua duri tumpul pada propodus (ruas ketiga, dihitung dari pangkal) di belakang jari penjepit (dactyl) dan satu duri tumpul serupa tonjolan rendah atau bahkan sangat rendah di sisi luar carpus (ruas kedua, dihitung dari pangkal).

Sisi muka karapas (frontal margin, di antara dua mata) biasanya dengan gerigi yang membundar. Warna karapas tatkala hidup biasanya kecokelatan hingga hijau-kecokelatan, kadang-kala kejinggaan; sementara lengan sepit (capit) dengan warna jingga hingga kuning (Keenan et al., 1998).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Portunidae
Genus Scylla
Spesies Scylla olivacea

Perilaku: Kepiting bakau lebih aktif mencari makan pada malam hari terutama dari jam 12 hingga pagi. Periode makan kepiting bakau tidak bergantung pada waktu disebabkan kepiting dapat mencari makan kapanpun. Jenis makanan kepiting bakau berupa kerang-kerangan, udang, ikan, lumut dan daun mangrove (Pasaribu, 2017).

Habitat: Kepiting bakau merupakan hewan yang khas dengan hutan mangrove. Kepiting bakau juga ditemukan pada habitat berlumpur. Kepiting bakau adalah hewan yang selalu berada di habitat berair karena alat pernapasannya berupa insang.

Penyebaran: Menyebar di perairan pesisir dan estuaria di Indo-Pasifik Barat, kepiting-bakau besar ditemukan ke barat hingga di Afrika Selatan; ke utara hingga di Okinawa, Jepang; ke timur hingga Fiji dan Samoa barat di Pasifik; dan ke selatan hingga Australia timur. Kepiting ini juga didapati di Filipina, dan di Kupang (Keenan et al., 1998).

Peran atau Manfaat: Keunggulan kepiting bakau sebagai bahan pangan ialah kaya akan nutrisi, kandungan lemak jenuhnya rendah, mengandung banyak protein, dan selenium. Manfaat lain dari kepiting ini ialah sebagai bahan baku obat, kosmetik, dan pangan. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

2. Kelomang Berbulu (Pagurus hirsutiusculus)

Deskripsi: Warna dewasa berkisar dari hijau zaitun, coklat, hingga hitam. Ciri khas kelomang ini adalah adanya garis-garis berwarna putih dan seringkali juga berwarna biru pada kaki berjalannya. Antenanya berwarna coklat keabu-abuan dengan garis putih yang jelas.

Kelomang ini juga mudah dikenali dari banyaknya rambut yang menutupi tubuhnya. Karapas P. hirsutiusculus dewasa dapat berukuran panjang hingga 19 mm (0,75 inci), dan tubuh hewan tersebut dapat tumbuh hingga 70 mm (2,8 inci) di populasi utara. Populasi yang lebih jauh ke selatan daripada Puget Sound berukuran lebih kecil dan tidak terlalu berbulu, dan telah diakui sebagai subspesies terpisah.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Malacostraca
Ordo Decapoda
Family Paguridae
Genus Pagurus
Spesies P. hirsutiusculus

Perilaku: Seperti umumnya kelomang, P. hirsutiusculus membawa cangkang gastropoda yang ditinggalkan untuk melindungi dirinya sendiri. Individu dari perairan yang lebih tenang akan segera meninggalkan cangkangnya ketika berhadapan dengan predator. P. hirsutiusculus terutama memakan detritus, tetapi merupakan pemakan oportunistik dan juga memakan rumput laut.

Habitat: Ia hidup di kedalaman mulai dari zona intertidal tengah hingga 110 m (360 kaki), umumnya lebih rendah dari Pagurus samuelis. Biasanya ditemukan di kolam pasang surut dengan pasir atau batu, dan di bawah batu, kayu gelondongan, dan rumput laut.

Penyebaran: P. hirsutiusculus ditemukan dari Kepulauan Pribilof, Alaska hingga selatan (California), dan dari Selat Bering ke selatan hingga Jepang. Peran atau Manfaat: Peran kelomang dalam ekosistem salah satunya sebagai filter feeder yaitu sebagai pemakan bahan organik yang tersuspensi di perairan. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

3. Kima Raksasa (Tridacna gigas)

Deskripsi: Ukuran cangkang kima raksasa bisa mencapai 120 centimeter dan berat lebih dari 200 kilogram. Rekor spesimen Tridacna gigas terbesar, dipegang oleh cangkang kima asal Indonesia, tepatnya dari Pantai Barat Tapanuli, Sumatra Utara yang ditemukan 1817. Ukuran panjang cangkang kima tersebut mencapai 137 cm dengan berat sekitar 250 kg. Saat ini, cangkang kima pemegang rekor itu, menjadi koleksi sebuah museum di Irlandia Utara. Rekor untuk spesimen kima terberat, menjadi milik cangkang yang berasal dari Pulau Ishagaki, Jepang. Kima tersebut memiliki panjang cangkang 115 cm dengan berat 333 kg. Mantelnya memiliki sistem sirkulasi khusus yang menjadi tempat tinggal bagi zooxanthellae, makhluk hidup bersel tunggal yang ber fotosistesis.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Bivalvia
Ordo Cardiida
Family Cardiidae
Genus Tridacna
Spesies Tridacna gigas

Perilaku: Kima dewasa bersifat menetap di dasar perairan, sebagian besar sumber makanan didapat dari zooxanthellae dan sisanya dari filter feeding. Di siang hari kima membuka cangkangnya agar zooxanthellae mendapatkan sinar matahari, di saat mendapatkan gangguan, kima akan merespon dengan menutup cangkangnya secara perlahan. Beberapa jenis kima juga akan menyemprotkan air untuk mengusir ikan-ikan predator saat menarik mantelnya ke dalam cangkang.

Habitat: Kima raksasa menghuni perairan terumbu karang, dan laguna dangkal dan kedalaman maksimal mencapai 20 meter. Penyebaran: Kima tersebar di perairan hangat di pasifik selatan dan hindia. yang meliputi Teluk Benggala dan Laut Andaman, Laut China selatan hingga Filipina dan Jepang, seluruh Kepulauan Indonesia dan Australia Utara hingga Kepulauan Fiji.

Peran atau Manfaat: Kima memiliki peran penting dalam ekosistem karena ia menjadi filter alami air laut dan cangkangnya menjadi tempat hidup berbagai biota terumbu karang. Keberadaan Kima juga mengindeksikan bahwa air laut tersebut masih baik kualitasnya atau belum tercemar. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

4. Siput Telur Cowry (Erronea ovum)

Deskripsi: Cangkang cowrie yang cukup umum ini rata-rata memiliki panjang 22–26 milimeter (0,87–1,02 inci), dengan ukuran minimum 16 milimeter (0,63 inci) dan ukuran maksimum 41 milimeter (1,6 inci). Permukaan dorsum Erronea ovum halus, mengkilat dan umumnya berwarna coklat tua, hijau zaitun tua atau keabu-abuan, seringkali dengan pita trasversal lebar yang lebih gelap. Mereka berbentuk telur (karena itu nama Latinnya ovum, artinya telur). Pangkal dan tepinya biasanya berwarna putih atau coklat pucat, dengan gigi kekuningan, tetapi pada Erronea ovum chrysostoma giginya berwarna merah jambu-oranye. Pada mantel cowries yang hidup berwarna keabu-abuan, dengan papila sensorik berbentuk pohon yang Panjang (Leung et al., 2019).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Mollusca
Class Gastropoda
Ordo Cardiida
Family Cypraeidae
Genus Erronea
Spesies Erronea ovum

Perilaku: Perilaku gastropoda dan beberapa moluska lainnya dalam memecah atau menghancurkan serasah mangrove untuk dimakan, disisi lain sangat besar perananya dalam mempercepat proses dekomposisi serasah (Pramudji, 2001). Habitat: Erronea ovum hidup di zona tropis dan subtropis, di perairan intertidal dangkal hingga kedalaman 3–10 meter (9,8–32,8 kaki), terutama di terumbu karang.

Penyebaran: Spesies ini hidup dari Asia Tenggara hingga Pasifik Barat Daya, di sepanjang pantai Jepang, Cina Timur, Thailand, Indonesia, Malaysia, Papua-New Guinea, Australia barat, Filipina, Kepulauan Palau, Kepulauan Solomon, Mikronesia, dan Kaledonia Baru. Peran atau Manfaat: Secara ekologis, jenis gastropoda penghuni hutan mangrove memiliki peranan yang besar dalam kaitannya dengan rantai makanan, karena disamping sebagai pemangsa detritus, gastropoda juga berperan dalam merobek atau memperkecil serasah yang baru jatuh. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

FAUNA: Pisces

1. Ikan Giru (Amphiprion ocellaris)

Deskripsi: Tubuh badut memiliki warna dasar oranye cerah dengan tiga belang warna putih. Selain itu, di bagian kepala, tengah tubuh, dan pangkal ekornya terdapat sedikit warna hitam. Bagian tulang di bawah mata tidak berduri panjang dan cenderung bergerigi pendek. Ikan ini juga mempunyai jari-jari keras yang tidak sama panjang pada bagian sirip punggung. Selain itu, terdapat 11 jari-jari di bagian sirip dorsal dan 17 jari-jari di bagian pectoral. Secara umum, ikan badut bisa tumbuh hingga mencapai panjang 15 cm di alam bebas (Sahusilawane & Soelistyowati, 2021).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Class Actinopterygi
Ordo Perciformes
Family Pomacentridae
Genus Amphiprion
Spesies A. ocellaris

Perilaku: Ikan ini juga menjadi contoh hewan yang melakukan simbiosis mutualisme atau interaksi yang saling menguntungkan,yaitu dengan anemon-anemon laut. Anemon laut menjadi pelindung bagi ikan-ikan nemo dari para predator. Begitupun sebaliknya, ikan nemo memberik keuntungan dengan membersihkan anemon dari sisa-sisa makanan yang mengganggu (Farianti et al., 2015).

Habitat: Ikan badut umumnya hidup dalam kelompok-kelompok kecil di lereng terumbu luar ataupun di sekitar laguna yang terlindung. Ikan ini bisa ditemukan pada kedalaman maksimal 15 meter dari permukaan laut. Penyebaran: Populasi ikan nemo paling banyak ditemukan di bagian timur Samudera Hindia dan di bagian barat Samudera Pasifik. Ikan-ikan kecil ini juga bisa ditemukan di sekitar Northern Australia, Jepang, dan Asia Tenggara.

Peran atau Manfaat: Ikan Badut memiliki daging yang enak dan kaya akan nutrisi. Dalam beberapa budaya, ikan Badut sering dijadikan sebagai bahan makanan yang lezat dan bergizi. Ikan Badut sering dijadikan sebagai hewan peliharaan karena warnanya yang menarik perhatian dan mudah dipelihara. Ditemukan di Wilayah: Zona Neritik

2. Ikan Jarum Atlantik (Strongylura marina)

Deskripsi: Tubuh ikan jarum ramping dan panjangnya berkisar antara 3 hingga 95 cm atau 1,2 hingga 37,4 inci. Sirip punggung tunggal terdapat pada tubuh di bagian paling belakang, posisinya hampir berlawanan dengan sirip dubur. Mereka mendapat nama 'ikan hidung jarum' karena paruhnya yang sempit dan panjang. Beberapa gigi tajam terdapat di dalam paruh ini.

Rahang atas sebagian besar spesies ikan jarum mencapai panjang maksimalnya hanya ketika mereka mencapai usia dewasa, sehingga ikan remajanya tampak seperti paruh setengah. Rahang bawah pada ikan jarum remaja memanjang tetapi rahang atas jauh lebih kecil. Tubuh ikan jarum yang ramping membantunya mencapai kecepatan tinggi saat berenang.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Class Actinopterygii
Ordo Kuatlura
Family Belonidae
Genus Strongylura
Spesies Strongylura marina

Perilaku: Ikan jarum diketahui berenang dengan kecepatan tinggi mencapai sekitar 60 kmpj atau 37 mph. Mereka juga mempunyai kebiasaan melompati perahu daripada berenang di bawahnya. Ikan jarum biasanya terlihat berburu dan memakan ikan kecil lainnya, krustasea, dan cephalopoda. kan jarum sering ditemukan berenang berkelompok di dekat permukaan dengan jantan yang mempertahankan wilayahnya selama proses makan.

Habitat: Ikan jarum Atlantik tidak terbatas pada perairan laut; mereka dapat ditemukan di berbagai muara dan mampu naik ke hulu menuju air tawar. Habitat mereka dapat bervariasi dari air tawar, air payau hingga laut. Ikan jarum, paling umum, ditemukan di perairan tropis sementara spesies tertentu diketahui menghuni perairan beriklim sedang, khususnya selama musim dingin.

Penyebaran: S. marina ditemukan di sepanjang perairan pesisir Atlantik barat dari Maine hingga Brasil selatan, termasuk kawasan di sepanjang pantai Teluk Meksiko dan Karibia. Peran atau Manfaat: Mereka digunakan secara terbatas sebagai umpan hidup untuk olahraga memancing marlin. Mereka dianggap sebagai ikan yang tidak dapat dimakan karena tulangnya yang melimpah. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

FAUNA: Holothuroidea

Black Sea Cucumber (Holothuria atra)

Deskripsi: Holothuria atra adalah teripang yang dapat tumbuh hingga panjang 60 sentimeter (24 inci) tetapi 20 sentimeter (7,9 inci) adalah ukuran yang lebih umum. Ia memiliki kulit yang halus, lentur, seluruhnya berwarna hitam yang sering kali terdapat pasir yang menempel di atasnya, terutama pada individu yang lebih kecil. Mulutnya berada di bagian bawah pada salah satu ujungnya dan dikelilingi oleh pinggiran 20 tentakel hitam bercabang . Anusnya ada di ujung yang lain (Bonham & Held, 1963).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Echinodermata
Class Holothuroidea
Ordo Holothuriida
Family Holothuriidae
Genus Holothuria
Spesies Holothuria atra

Perilaku: Holothuria atra adalah omnivora , memilah sedimen dengan tentakelnya dan memakan detritus dan bahan organik lainnya. Sebagai pertahanan terhadap predator, Holothuria atra mengeluarkan cairan berwarna merah beracun ketika kulitnya digosok atau dirusak. Saat diserang, ia tidak mengeluarkan tubulus Cuvierian seperti yang dilakukan beberapa teripang, melainkan mengeluarkan organ dalamnya melalui anusnya (Bonham & Held, 1963).

Habitat: Ia dijumpai di dasar laut, di perairan cetek di terumbu dan dataran pasir dan di padang lamun pada kedalaman hingga 20 meter (66 kaki) (Conand, 1996). Penyebaran: Holothuria atra ditemukan di kawasan tropis Indo-Pasifik , jangkauannya terbentang dari Laut Merah dan Afrika Timur hingga Australia (Conand, 1996).

Peran atau Manfaat: Senyawa yang memiliki potensi kepentingan biomedis terdapat di Holothuria atra , termasuk lektin , sapogenin steroid, dan glikosida triterpene (Bordbar et al., 2011). Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

FAUNA: Crinoidea

Bintag Bulu (Tropiometra carinata)

Deskripsi: Bintang bulu yang anggun dapat tumbuh hingga panjang total 20 cm. Warnanya bervariasi dari kuning hingga coklat dan kadang-kadang beraneka warna kuning dan coklat. Mereka mempunyai sepuluh lengan panjang dengan cabang samping bersilia yang meruncing ke suatu titik. Mereka memiliki 20-30 cirri per lengan. Semua crinoid memiliki lima lengan, berkembang dari kelopak, yang biasanya bercabang satu kali atau lebih, sehingga menghasilkan hingga 200 lengan.

Cabang-cabang kecil yang disebut pinnules membatasi setiap lengan. Yang terdekat dengan bulan disebut pinnules lisan. Gonad biasanya terdapat pada kelompok pinnules berikutnya, yang disebut pinnules gonad, meskipun dapat juga terdapat pada sumbu lengan, namun hampir tidak pernah terjadi pada massa sentral tubuh. Setelah pinnules gonad disebut pinnules distal (Rao et al., 1985).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Echinodermata
Class Crinoidea
Ordo Comatulida
Family Tropiometridae
Genus Tropiometra
Spesies T. carinata

Perilaku: Bintang bulu biasanya hidup berkelompok, lebih suka menempel pada celah, permukaan lateral, atau di tempat lain di mana mereka dapat menyembunyikan massa pusatnya. Perilaku ini mencegah dan menghindari cedera pada bagian tubuh vital yang disebabkan oleh predator, dan juga mengoptimalkan filtrasi dengan meningkatkan efek penyekat, yang meningkatkan kemungkinan partikel makanan menyentuh struktur makanan (Macurda Jr & Meyer, 1977).

Habitat: Crinoid ditemukan dari zona pinggiran substidal hingga kedalaman yang sangat dalam di perairan tropis, sedang, dan kutub, meskipun mereka lebih terdiversifikasi di terumbu karang (Meyer & Macurda Jr, 1976). Penyebaran: Atlantik Timur Laut, dari Kepulauan Shetland hingga Liberia dan barat hingga Azores. Zona intertidal hingga 1.476,4 kaki (450 m) (Meyer & Macurda Jr, 1976).

Peran atau Manfaat: Tropiometra carinata dapat berperan sebagai tempat tinggal dan membantu menyediakan makanan bagi ikan-ikan kecil dan udang. Ditemukan di Wilayah: Zona Neritik

FAUNA: Demospongia

1. Peach Ball Sponge (Suberites domuncula)

Deskripsi: Merupakan hewan multiselular yang memiliki struktur tubuh sederhana. Tubuhnya tidak memiliki saluran pencernaan, otot, saraf, dan gonad. Bentuk tubuh porifera bervariasi mulai dari membulat, berbentuk tabung, bercabang, flabellate, dan lain-lain. Ukuran hewan ini bervariasi mulai dari 3 – 10 mm hingga 1,5 – 2 meter. Tubuh spons sendiri memiliki tekstur yang tersusun dari fibril kolagen pada bagian mesofil, serat spongin (ditemukan pada beberapa Ordo Demospongiae), dan komponen skeleton anorganik seperti kalsium karbonat (CaCO3) (pada Calcarea) atau silika (SiO2) (Le Pennec et al., 2003).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Porifera
Class Demospongiae
Ordo Suberitida
Family Suberitidae
Genus Suberites
Spesies S. domuncula

Perilaku: Porifera mengambil makanan dengan cara menyaring makanan yang terlarut dalam air. Flagel menarik bakteri, protozoa dan alga yang melekat pada leher dari sel koanosit, kemudian air dialirkan ke dalam vakuola yang terdapat di pangkal koanosit untuk dicerna. Bahan makanan yang sudah dicerna akan diedarkan ke seluruh bagian tubuh oleh sel amebosit. Sisa hasil pencernaan dikeluarkan ke spongiosel dan dibuang keluar tubuh melalui osskulum (Le Pennec et al., 2003).

Habitat: Hewan ini memiliki habitat di perairan, umumnya di lautan. Namun, ada juga beberapa porifera yang hidup di perairan air tawar (Müller et al., 2006). Penyebaran: Hewan ini memiliki persebaran mulai dari zona intertidal hingga zona sub tidal atau zona sub litoral suatu perairan. Hewan ini umum dijumpai di perairan tropik dan sub tropic (Müller et al., 2006).

Peran atau Manfaat: Kebanyaan spons memiliki kalsium karbonat atau spikula dari silika yang membuatnya terlalu kasar dan keras untuk digunakan, tetapi beberapa jenis Porifera seperti Spongia dan Hippospongia dapat digunakan sebagai spons mandi karena rangkanya lunak dan penuh rongga. Orang Eropa zaman dahulu menggunakan spons untuk berbagai hal seperti bagian dalam pelindung kepala, penyaring air, dan alat pembersih. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai.

2. Redbeard Sponge (Clathria polifera)

Deskripsi: Clathria sp. adalah salah satu spons merah atau orange bercabang seperti jari, setiap jari memiliki diameter sekitar 6mm. Membentuk koloni lebat yang bisa mencapai 20cm. Ada pori-pori yang tersebar diseluruh permukaan tubuh (Borneman, 2001). Clathria sp. berwarna cokelat terang. Tubuhnya memiliki lubang besar yang disebut oskulum yang berfungsi sebagai keluarnya air dan ekskresi.

Memiliki lubang kecil yang disebut ostium untuk masuknya air yang tersebar di sepanjang tubuhnya. Menempel pada substrat yang disebut basal disc. Memiliki tipe kanal leucon, yaitu tipe sisrem kanal yang memiliki desain paling rumit. Aliran air secara selektif dipompa melalui kanal yang berflagella.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Porifera
Class Demospongiae
Ordo Poecilosclerida
Family Cicrocionidae
Genus Clathria
Spesies Clathria polifera

Perilaku: Porifera mengambil makanan dengan cara menyaring makanan yang terlarut dalam air. Flagel menarik bakteri, protozoa dan alga yang melekat pada leher dari sel koanosit, kemudian air dialirkan ke dalam vakuola yang terdapat di pangkal koanosit untuk dicerna. Bahan makanan yang sudah dicerna akan diedarkan ke seluruh bagian tubuh oleh sel amebosit. Sisa hasil pencernaan dikeluarkan ke spongiosel dan dibuang keluar tubuh melalui osskulum (Le Pennec et al., 2003).

Habitat: Clathria prolifera umumnya terdapat di teluk dan pelabuhan di dermaga yang kotor dan di bagian bawah batuan intertidal dan subtidal rendah, hingga salinitas sekitar 15 ppt. Penyebaran: Hewan ini memiliki persebaran mulai dari zona intertidal hingga zona sub tidal atau zona sub litoral suatu perairan. Hewan ini umum dijumpai di perairan tropik dan sub tropic (Müller et al., 2006).

Peran atau Manfaat: Kebanyaan spons memiliki kalsium karbonat atau spikula dari silika yang membuatnya terlalu kasar dan keras untuk digunakan, tetapi beberapa jenis Porifera seperti Spongia dan Hippospongia dapat digunakan sebagai spons mandi karena rangkanya lunak dan penuh rongga. Orang Eropa zaman dahulu menggunakan spons untuk berbagai hal seperti bagian dalam pelindung kepala, penyaring air, dan alat pembersih. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

FAUNA: Cnidaria

1. Karang Kubah (Porites nodifera)

Deskripsi: Porites nodifera memiliki substrat yang keras dan tumbuh dalam struktur seperti kolom menuju permukaan air. Permukaan setiap kolom cenderung relatif datar, berbentuk lingkaran dan karang memiliki permukaan yang cukup halus. Secara keseluruhan, warna karang berkisar dari coklat tua hingga coklat muda. Penampilannya mirip dengan Porites harrisoni, yang merupakan spesies Porites populer yang juga ditemukan di Teluk Persia (Grandcourt, 2007). Porites nodifera dapat terinfeksi penyakit yang dikenal sebagai Penyakit Pita Kuning Arab, juga disebut sebagai AYBD, dalam masa hidup mereka seperti yang umum terjadi pada beberapa spesies karang di Teluk Persia.Spesies yang kontras dengan AYBD terlihat memiliki pita kuning yang mengelilingi karang. Pita kuning ini mengganggu jaringan yang tidak terinfeksi, sehingga membunuh jaringan yang sehat. Karang, khususnya spesies Porites nodifera , mampu mengatasi AYBD karena sering terlihat menghentikan manifestasinya dan menjadi tidak aktif sebelum menginfeksi seluruh karang, sehingga karang dapat meremajakan dirinya sendiri dengan membangun kerangka baru.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Cnidaria
Class Heksakorallia
Ordo Skleraktinia
Family Poritidae
Genus Porites
Spesies Porites nodifera

Perilaku: Polip Porites nodifera kebanyakan makan pada malam hari, memperluas tentakelnya untuk menangkap zooplankton dan bakteri. Karang juga memperoleh sebagian penting kebutuhan nutrisinya sebagai hasil fotosintesis yang dilakukan oleh zooxanthellae di bawah sinar matahari (Grandcourt, 2007).

Habitat: Porites nodifera dapat ditemukan di wilayah dengan salinitas normal (40-42%), namun cenderung tidak mendominasi zona tersebut karena adanya persaingan antarspesies dengan berbagai spesies karang lainnya, di kawasan ini yang hidup berdampingan di zona terendah lereng terumbu dalam jumlah yang sangat sedikit (Ali et al., 2014),

Penyebaran: Porites nodifera berasal dari barat laut Samudera Hindia, termasuk Laut Merah, Teluk Aden, dan Teluk Persia. Ia dijumpai di perairan dangkal, umumnya pada kedalaman kurang dari 5 meter (16 kaki), tetapi kedalamannya mencapai 15 meter (49 kaki) (Ali et al., 2014). Peran atau Manfaat: Bereperan sebagai indikator kenaikan suhu laut (Ali et al., 2014). Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

2. Karang Bintang Kecil (Goniastrea favulus)

Deskripsi: Koloni Goniastrea favulus biasanya membentuk struktur besar seperti batu besar berwarna kehijauan atau kecoklatan. Polip-polip tersebut tersusun dalam kelompok di dalam dinding koralit yang sama, atau berada di lembah meandroid. Dinding koralit tipis, septa mempunyai lobus paliform besar dan terdapat kolumella tengah kecil (Kamal & Mahdi, 2017).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Cnidaria
Class Heksakorallia
Ordo Scleractinia
Family Merulinidae
Genus Goniastrea
Spesies G. favulus

Perilaku: Goniastrea favulus adalah spesies karang zooxanthellate, yang di dalam jaringannya mengandung banyak dinoflagellata simbiosis mikroskopis yang pada siang hari menyediakan produk fotosintesis bagi karang. Pada malam hari, polip melebarkan dan melebarkan tentakelnya untuk menangkap zooplankton (Kamal & Mahdi, 2017). Habitat: Ia dijumpai di zona intertidal dan subtidal di lereng terumbu depan dan belakang, dan di laguna. Hal ini umumnya jarang terjadi dan jarang ditemukan pada kedalaman lebih dari 15 meter (50 kaki) (Babcock, 1984).

Penyebaran: Goniastrea favulus berasal dari wilayah Indo-Pasifik. Jangkauannya meluas dari Madagaskar utara dan pantai timur Afrika hingga Kepulauan Maladewa, Asia Tenggara, Jepang, Australia, dan gugusan pulau di Samudera Pasifik (Babcock, 1984). Peran atau Manfaat: Bereperan sebagai indikator kenaikan suhu laut. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

3. Jahe Laut (Millepora alcicornis)

Deskripsi: Millepora alcicornis bukanlah karang sejati yang termasuk dalam kelas Anthozoa tetapi termasuk dalam kelas Hydrozoa , dan lebih berkerabat dekat dengan ubur-ubur dibandingkan karang berbatu. Morfologi Millepora alcicornis sangat bervariasi. Sebagian besar koloni mungkin berawal dari bentuk yang bertatahkan dan mengadopsi struktur bercabang seiring pertumbuhannya.

Lapisan kerak ini dapat terbentuk pada berbagai struktur, tidak hanya pada terumbu karang dan bebatuan, namun juga pada karang mati dan lambung kapal yang karam. Perkembangan selanjutnya berupa lempengan atau bilah di habitat dengan banyak pergerakan air seperti tepi luar terumbu yang dihantam ombak. Di perairan yang lebih tenang, seperti di laguna yang dalam atau di bagian terumbu yang lebih terlindung, tumbuhlah struktur yang lebih tegak, berdaun, atau bercabang yang dapat tumbuh setinggi 50 sentimeter (20 inci) (Edmunds, 1999).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Cnidaria
Class Hidrozoa
Ordo Anthoathecata
Family Milleporidae
Genus Millepora
Spesies M alcicornis

Perilaku: Millepora alcicornis memakan plankton. Tentakel dactylzooids biasanya memanjang sepanjang waktu. Jika suatu benda diayunkan di atas karang akan menyebabkan tentakel tertarik kembali dan karang dapat dipegang tanpa mengalami sengatan menyakitkan yang disebabkan oleh knidosit (García-Arredondo et al., 2012). Habitat: Tumbuh di kedalaman hingga 40 meter (130 kaki) dan merupakan satu-satunya karang api yang sering tumbuh di kedalaman lebih dari 10 meter (33 kaki) (García-Arredondo et al., 2012).

Penyebaran: Millepora alcicornis ditemukan di Laut Karibia , Teluk Meksiko , Florida , Kepulauan Tanjung Verde dan di sepanjang pantai Amerika Tengah dan Selatan hingga ke selatan Brasil (García-Arredondo et al., 2012). Peran atau Manfaat: Bereperan sebagai indikator pemanasan global dan kenaikan suhu air laut (Edmunds, 1999). Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

4. Karang Staghorn (Acropora cervicornis)

Deskripsi: Karang staghorn (Acropora cervicornis) adalah karang berbatu bercabang dengan cabang silindris dengan panjang dan tinggi mulai dari beberapa sentimeter hingga lebih dari dua meter. Ia hidup di lingkungan terumbu belakang dan terumbu depan dengan kedalaman 0 hingga 30 m (0 hingga 98 kaki). Karang ini menunjukkan pertumbuhan tercepat di Atlantik barat yang diketahuikarang pinggiran, dengan panjang cabang yang bertambah 10–20 cm (3,9–7,9 inci) per tahun (Ware et al., 2020).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Cnidaria
Class Heksakorallia
Ordo Skleraktinia
Family Acroporidae
Genus Akropora
Spesies Acropora cervicornis

Perilaku: Karang staghorn mendapatkan makanan dari alga fotosintetik yang hidup di dalam sel karang. Mereka juga mencari makan dengan menangkap plankton dengan tentakel polipnya (Richards et al., 2013). Habitat: Mereka umumnya mendiami wilayah perairan dangkal sampai dengan sedang, yakni antara 3-5 m. Mereka tumbuh di lereng karang tengah dan atas, serta perairan lagun yang jernih.

Penyebaran: Karang Staghorn ditemukan di seluruh Florida Keys, Bahama, dan kepulauan Karibia. Karang ini terdapat di bagian barat Teluk Meksiko, tetapi tidak terdapat di perairan AS di Teluk Meksiko, serta di Bermuda dan pantai barat Amerika Selatan. Batas utaranya berada di pantai timur Florida, di sekitar Jupiter, Florida (Ware et al., 2020).

Peran atau Manfaat: Karang cervicornis dapat membantu memitigasi dampak negatif dari perubahan iklim, serta melindungi garis pantai dari keadaan cuaca ekstrem. Eksistensi mereka berguna sebagai pelindungan area pesisir dan ekosistem laut (Richards et al., 2013). Ditemukan di Wilayah: Zona Neritik

5. Karang Montipora (Montipora foliosa)

Deskripsi: Morfologi pertumbuhan genus Montipora meliputi submasif, laminar, foliaceous, encrusting, dan percabangan. Tidak jarang satu koloni Montipora menunjukkan lebih dari satu morfologi pertumbuhan. Karang Montipora yang sehat memiliki beragam warna, antara lain oranye, coklat, merah muda, hijau, biru, ungu, kuning, abu-abu, atau cokelat. Meskipun warnanya biasanya seragam, beberapa spesies, seperti Montipora spumosa atau Montipora verrucosa, mungkin menampilkan penampakan berbintik-bintik.

Karang Montipora memiliki koral terkecil dari semua keluarga karang. Dinding Coenosteum dan koralit berpori, sehingga dapat menghasilkan struktur yang rumit. Coenosteum setiap spesies Montipora berbeda-beda sehingga berguna untuk identifikasi. Polip biasanya hanya meluas pada malam hari. Karang Montipora sering disalahartikan sebagai anggota genus Porites berdasarkan kemiripan visualnya, namun Porites dapat dibedakan dari Montipora dengan memeriksa struktur koralitnya (Westbroek et al., 1980).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Cnidaria
Class Heksakorallia
Ordo Skleraktinia
Family Acroporidae
Genus Montipora
Spesies Montipora foliosa

Perilaku: Karang Montipora merupakan pemijahan hermafrodit. Pemijahan biasanya terjadi pada musim semi. Telur karang Montipora sudah mengandung zooxanthellae, sehingga tidak ada yang diperoleh dari lingkungan. Proses ini dikenal sebagai transmisi langsung atau vertical (Liu et al., 2021).

Habitat: Secara berkelompok, berbagai spesies Montipora ditemukan di perairan dalam hingga terumbu karang jernih serta laguna dengan perairan keruh. Penyebaran: Karang Montipora banyak ditemukan di terumbu dan laguna Laut Merah, Samudera Hindia bagian barat, dan Samudera Pasifik bagian selatan, tetapi sama sekali tidak ada di Samudera Atlantik.

Peran atau Manfaat: Karang Montipora adalah salah satu bahan penyusun terumbu yang penting. Bersama dengan karang Acropora (Acropora sp.), anggota lain dari Keluarga Acroporidae, karang montipora merupakan sepertiga dari spesies karang pembentuk terumbu. Bentuknya yang bercabang-cabang menjadi tempat berlindung bagi semua jenis hewan termasuk kuda laut, kerang kecil, dan segala jenis kepiting (Westbroek et al., 1980). Ditemukan di Wilayah: Zona Neritik

6. Anemon Karpet Raksasa (Stichodactyla gigantea)

Deskripsi: Stichodactyla gigantea memiliki diameter yang biasanya tidak lebih besar dari 50 sentimeter (1,6 kaki) dan maksimum 80 sentimeter (2,6 kaki). Ia dapat muncul dalam berbagai warna, umumnya coklat atau kehijauan dan jarang berwarna ungu atau merah muda yang mencolok, biru tua, atau hijau cerah. S. gigantea yang sehatakan memiliki tentakel yang sangat lengket saat disentuh, dan melekat kuat pada permukaan.

Tentakelnya pendek (sekitar 1 cm), sempit dan panjangnya seragam. Tentakelnya tidak terlalu rapat dan ketika terendam, biasanya selalu bergerak. Tentakelnya sangat lengket dan mungkin menempel di jari lalu putus. Ia tidak memiliki pinggiran tentakel panjang-pendek di tepi cakram mulutnya (Hayes & Painter, 2016).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Cnidaria
Class Heksakorallia
Ordo Aktinaria
Family Stichodactylidae
Genus Stichodactyla
Spesies S. gigantea

Perilaku: Anemon karpet menampung alga bersel tunggal yang bersimbiosis (disebut zooxanthellae). Alga menjalani fotosintesis untuk menghasilkan makanan dari sinar matahari. Makanan yang dihasilkan dibagikan dengan anemon, yang sebagai imbalannya menyediakan tempat berlindung dan mineral bagi alga. Zooxanthellae diyakini memberi warna coklat atau kehijauan pada tentakelnya. Anemon karpet juga memakan partikel halus yang terperangkap di tubuhnya. Anemon ini tidak terlihat memakan hewan besar (Hayes & Painter, 2016).

Habitat: S. gigantea hidup di padang lamun dangkal atau dataran pasir dengan kedalaman sekitar 8 sentimeter (3,1 inci) (saat air surut). Penyebaran: S. gigantea ditemukan di Samudera Indo-Pasifik, khususnya Laut Merah hingga Kepulauan Solomon.

Peran atau Manfaat: Anemon secara umum memiliki ekologis dapat meningkatkan kinerja efisiensi energi dan mampu mengundang kehadiran ikan-ikan karang terutama ikan giru (Amphiprion) sehingga menimbulkan semakin beragamnya struktur tropik pada ekosistem terumbu karang. Ditemukan di Wilayah: Zona Neritik

7. Karang Tudung (Stylophora pistillata)

Deskripsi: Stylophora pistillata memiliki cabang yang lebar dan berujung tumpul, serta koloni menjadi lebih tebal dan submasif seiring pertumbuhannya. Diameter maksimum suatu koloni adalah sekitar 30 cm (12 in). Koralit (cangkir berbatu tempat munculnya polip ) berbentuk kerucut atau berkerudung dan tenggelam di bawah permukaan umum. Columella (kolom tengah koralit) padat dan menonjol, dan septa (lempengan batu yang membentuk dinding koralit) dapat menyatu dengan kolumela. Ada enam septa primer dan terkadang enam septa sekunder. Koloni bisa berwarna krem, merah muda, kebiruan atau hijau (Drake et al., 2013).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Cnidaria
Class Heksakorallia
Ordo Skleraktinia
Family Pocilloporidae
Genus Stylophora
Spesies Stylophora pistillata

Perilaku: Karang ini menjadi rumah bagi kepiting empedu, kepiting Trapezia, kerang kurma, teritip, cacing pohon Natal, dan ikan damselfish. Habitat: Ini adalah spesies pembentuk terumbu dan menyukai habitat terbuka dengan pergerakan air yang kuat. Kisaran kedalamannya turun menjadi sekitar 15 m (50 kaki).

Penyebaran: Stylophora pistillata tersebar luas di kawasan tropis dan subtropis Indo-Pasifik. Jangkauannya meluas dari Madagaskar, Afrika Timur, Laut Merah dan Teluk Persia, melalui Samudera Hindia hingga Australia bagian utara, Indonesia, Filipina, New Guinea, Jepang dan banyak kelompok pulau di Samudera Pasifik bagian barat dan tengah.

Peran atau Manfaat: Karang ini menjadi rumah bagi kepiting empedu, kepiting Trapezia, kerang kurma, teritip, cacing pohon Natal, dan ikan damselfish. Ditemukan di Wilayah: Zona Neritik

FAUNA: Reptil

1. Penyu Hijau (Chelonia mydas)

Deskripsi: Penyu hijau memiliki ciri-ciri karapas berbentuk oval dengan 5 buah neural, 4 buah coastal, 10 buah marginal dan bentuk karapasnya tidak meruncing di punggung serta memiliki kepala yang bundar. Memiliki sepasang kaki depan dan sepasang kaki belakang, kuku pada kaki depannya hanya satu, warna karapasnya coklat atau kehitam-hitaman. Warna karapas pada bagian dorsal tukik penyu hijau berwarna hitam, pada saat remaja warnanya menjadi coklat dengan radiating streak (bercak kekuningan yg menyebar) dan warnanya.

Warna pada bagian centralnya (plastron) pada tukik adalah putih dan menjadi kekuningan pada saat dewasa. Ukuran panjang penyu hijau antara 80-150 cm dengan berat dapat mencapai 132 kg (Safrizal 2009). Adapun yang mengatakan bahwa penyu hijau memiliki panjang lebih dari 0,9 m sampai 1,5 m dengan berat mencapai 391,95 kg, dan memiliki cakar yg tajam pada kaki depannya (Prihanta, 2007). Pada masing-masing flipper penyu terdapat satu kuku dan flipper bagian depan lebih panjang dari pada bagian belakang (Pritchard dan Mortimer, 1999).

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Class Reptilia
Ordo Testudines
Family Cheloniidae
Genus Chelonia
Spesies Chelonia mydas

Perilaku: Penyu hijau betina bermigrasi dalam wilayah yang luas, antara kawasan mencari makan dan bertelur, tetapi cenderung untuk mengikuti garis pantai dibandingkan menyeberangi lautan terbuka. Habitat: Penyu hijau sangat jarang ditemui di perairan beriklim sedang, tapi sangat banyak tersebar di wilayah tropis dekat dengan pesisir benua dan sekitar kepulauan.

Penyebaran: Di kawasan pesisir Afrika, India, dan Asia Tenggara, serta sepanjang garis pantai pesisir Australia dan Kepulauan Pasifik Selatan. Mereka juga dapat ditemukan di Mediterania dan terkadang di kawasan utara hingga perairan pesisir Inggris. Peran atau Manfaat: Menjaga keberlangsungan hidup Lamun dan Rumput Laut. Ditemukan di Wilayah: Pesisir Pantai

2. Biawak Air (Varanus salvator)

Deskripsi: Biawak ini berukuran panjang sekitar 1.5 m hingga 2 m dengan berat mencapai 19 kg. Bentuk kepalanya meruncing. Kulitnya kasar dan berbintik-bintik kecil agak menonjol. Warna tubuhnya hitam atau indigo dengan bercak bercak tutul dan bulatan berwarna kuning pucat dari bagian atas kepala, punggung, hingga pangkal ekor. Bagian perut dan leher berwarna lebih pucat dengan bercak-bercak agak gelap. Ekor berwarna dasar sama dengan tubuh dan dihiasi belang-belang samar berwarna kuning pucat yang berbaur (blending) dengan warna dasar.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Class Reptilia
Ordo Squamata
Family Varanidae
Genus Varanus
Spesies Chelonia mydas

Perilaku: Biawak ini sangat pandai berenang dan memanjat pohon dan sering terlihat beraktivitas pada siang hari. Biawak air menggunakan ekornya sebagai alat pertahanan diri. Habitat: Biawak air, sesuai dengan namanya, tinggal tidak jauh dari sumber air atau perairan. Habitat kesukaannya adalah pinggiran sungai atau rawa-rawa hutan.

Penyebaran: Biawak air tawar merupakan jenis biawak yang tersebar luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Peran atau Manfaat: Biawak air dijadikan sebagai bahan pangan, biawak juga dapat dimanfaatkan dagingnya sebagai obat kulit dan kulitnya sebagai bahan untuk membuat dompet (Pariyanto et al., 2021; Mukharomah et al., 2020). Ditemukan di Wilayah: Terestrial

FAUNA: Insekta

1. Kupu-Kupu Cokelat (Lethe confusa)

Deskripsi: Kupu-kupu ini memiliki warna sayap berwarna kuning lemon terang dengan tanda hitam di sisi atas dan tanda-tanda cokelat gelap di bagian bawah.Baetina memiliki ukuran lebih besar dan berwarna kuning pucat,dengan tanda-tanda hitam tetapi tersebar luas di sisi atas dari sayap kedua.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Insekta
Ordo Lepidoptera
Family Nymphalidae
Genus Lethe
Spesies Lethe confusa

Perilaku: Di pagi hari kupu-kupu terbang rendah di atas tanah, dan menetap untuk berjemur dalam waktu lama di vegetasi rendah dengan sayap terentang. Kemudian saat suhu naik, mereka menjadi sangat aktif (Helmiyetti et al., 2013). Habitat: Kupu-kupu belerang dapat dijumpai hampir di setiap habitat, asalkan ada tumbuhan inang yang cocok bagi spesies kupu-kupu keluarga Pieridae. Kupu-kupu ini dapat ditemukan pada wilayah dengan ketinggian 2000 m diatas permukaan laut, biasanya terdapat pada habitat terbuka seperti hutan, semi-gurun, pantai, taman dan kebun.

Penyebaran: Menyebar paling luas di dunia. Spesies ini dapat ditemukan di negara-negara Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara hingga Australia. Peran atau Manfaat: Kupu-kupuk anthene sama halnya dengan kkupu-kupu yang lain memiliki manfaat seperti halnya dengan kupu-kupu lain, yaitu: membantu proses penyerbukan tanaman, indicator lingkungan yang sehat, dan menjaga organisme tetap terkendali. Ditemukan di Wilayah: Terestrial

2. Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)

Deskripsi: Serangga ini bersifat teritorial (menjaga tempat hidupnya) dan bertemperamen “galak”. Rangrang tidak segan-segan menyerang apa pun yang mendekati kawasan aktivitasnya. Oecophylla smaragdina hidup secara berkoloni, jenis pekerja umumnya berwarna merah dan terkadang merah kekuningan, memiliki rambut pendek di bagian bawah abdomen. Jantan memiliki warna yang sama dengan semut pekerja, terkadang berwarna kecoklatan, rambutnya coklat kemerahan, memiliki sayap hyaline berwarna coklat kekuningan mencapai belakang abdomen. Ratu koloni berwarna hijau emerald dan sedikit transparan, terdapat variasi kuning pucat dengan pertanda pada bagian kepala dan thorax.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Arthropoda
Class Insekta
Ordo Hymenoptera
Family Formicidae
Genus Oecophylla
Spesies O. smaragdina

Perilaku: Oecophylla smaragdina merupakan hewan arboreal yang agresif, hidup secara berkoloni yang membuat sarang dari dedaunan yang disatukan dari sutra larva pada pohon inang umumnya Mangifera sp. Oecophylla smaragdina jantan dan ratu bertemu di udara kemudian menuju kanopi pohon untuk kawin. Setelah perkawinan terjadi, ratu akan terbang sendiri menuju sarang.

Habitat: Semut rangrang dapat hidup di berbagai habitat terrestrial. Penyebaran: Semut rangrang dominan di hutan terbuka dari India, Australia, Cina dan Asia Tenggara. Peran atau Manfaat: Predator hama pada pohon kelapa sawit, mahoni, dan jeruk (Falahudin, 2012). Ditemukan di Wilayah: Terestrial

FAUNA: Aves

1. Burung Bangau (Ciconia ciconia)

Deskripsi: Badan berukuran besar, berkaki panjang, berleher panjang namun lebih pendek dari burung Kuntul, dan mempunyai paruh yang besar, kuat dan tebal. Jenis Bangau Yang Memiliki Bulu Berwarna Putih Dengan Warna Hitam Pada Bagian Sayap, Memiliki Kaki Panjang Dengan Warna Merah Dan Paruh Merah Panjang Lurus, Ukuran Rata-Rata Bangau Ini Jika Diukur Dari Paruh Ujung Ke Ujung Ekor Maka Berkisar Antara 100-115 Cm Dengan Lebar Sayap Antara 155-215 cm.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Class Aves
Ordo Ciconiiformes
Family Ciconiidae
Genus Ciconia
Spesies Ciconia ciconia

Perilaku: Bangau tidak memiliki organ suara syrinx sehingga tidak bersuara. Burung ini merupakan salah satu burung yang melakukan infantisida. Burung ini melakukan infantisida dengan membuang telur yang ada di sarangnya atau memakan anaknya sendiri (Bocheński & Jerzak, 2006).

Habitat: Burung ini menempati area terbuka dan menghindari area yang dingin, cuaca basah, area bervegetasi rapat seperti hutan. Ketika musim dingin burung ini akan pergi ke daerah yang lebih kering seperti sabana dan padang rumput. Sarangnya di pohon tua dan bebatuan. Penyebaran: Burung ini tersebar luas di Eropa dan ada pula sebagian populasi yang menyebar di Timur tengah maupun selatan Afrika. Peran atau Manfaat: Sumber protein hewani. Ditemukan di Wilayah: Terestrial Burung bangau putih di Eropa tengah kembali ke sarang yang dibuat pada tahun sebelumnya ketika akhir Februari hingga pertengahan April. Waktu musim kawin berlangsung dari April hingga September. Waktu perkembangan biak berlangsung selama 33-34 hari. Umumnya burung bangau putih ini menelurkan 3 hingga 5 telur dalam sekali musim kawin. Burung jantan dan betina bergantian dalam menjaga telur. Bulan pertama ketika telur burung ini menetas, anak burung ini akan dirawat secara konsisten oleh induknya. Burung akan belajar terbang selama 2 bulan. Setelah 2 bulan burung akan menjadi independen dan meraih kematangan seksual ketika berumur 3-5 tahun.

Makanan

Burung ini merupakan burung karnivora. Biasanya burung ini memakan beberapa mamalia kecil, serangga besar, hewan amfibi, ular, kadal, cacing tanah, ikan, telur burung lainnya, moluska, dan krustasea.

2. Burung Camar (Atricilla bonaparte)

Deskripsi: Burung Camar umumnya berukuran sedang hingga besar, dan berwarna abu-abu atau putih, kadang dengan warna kehitaman di kepala atau sayap. Burung ini memiliki paruh panjang yang kuat, dan kaki berselaput. Burung camar memiliki bentuk ekor yang bercangap mirip dengan burung Seriti atau Kepinis sehingga burung ini juga sering disebut dengan Kepinis Laut. Selain itu burung ini juga memiliki nama-nama lain yang berbeda di setiap daerah dan dunia.

Taksonomi
Kingdom Animalia
Phylum Chordata
Class Aves
Ordo Charadriiformes
Family Laridae
Genus Atricilla
Spesies A. bonaparte

Perilaku: Spesies ini kadang berteriak atau menguak dengan keras. Burung camar merupakan burung karnivor yang membangun sarang di darat, lalu berburu makanan secara oportunistik. Mereka sering terbang tinggi jika cuaca cerah.

Habitat:Burung camar atau meong-meong (Larus ridibundus) sebenarnya bukanlah spesies burung asli Indonesia. Habitat alami burung camar adalah wilayah pesisir di sebagian besar Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Meskipun beberapa spesies burung camar dapat ditemukan di beberapa wilayah pantai Indonesia, termasuk burung camar pasir (Charadrius alexandrinus) dan burung camar putih (Chroicocephalus ridibundus), namun keberadaan mereka relatif jarang dibandingkan dengan wilayah pesisir di daerah asal mereka.

Selain itu, pesisir pantai dan laut Indonesia memiliki lingkungan yang berbeda dengan lingkungan alami burung camar. Pesisir pantai dan laut Indonesia cenderung memiliki jenis tumbuhan, hewan, dan lingkungan yang berbeda dengan wilayah pesisir di Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Kondisi lingkungan di Indonesia juga cenderung lebih hangat dan lembab dibandingkan wilayah asal burung camar. Oleh karena itu, kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan habitat asli mereka dapat membuat populasi burung camar di wilayah tersebut menjadi relatif kecil dan jarang ditemukan.

Penyebaran: Burung ini hampir ada di tiap benua, termasuk pinggiran antartika dan kutub utara. Peran atau Manfaat: Burung camar bisa mendeteksi cuaca buruk dari tekanan udara yang dirasakan di sekitarnya. Hal ini yang membuat burung camar sering dianggap sebagai barometer alami. Burung ini juga dijadikan indikator bagi nelayan untuk mengetahui adanya ikan (Wajo et al., 2023). Ditemukan di Wilayah: Terestrial

Daftar Pustaka

Adzkia, U., Nugroho, N., & Karlinasari, L. (2020). Anatomical Feature of Royal Palm Leaf Sheath. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 399(1), 12061.

Alappatt, J. P. (2008). Chapter 5 - Structure and Species Diversity of Mangrove Ecosystem. In C. Sivaperuman, A. Velmurugan, A. K. Singh, & I. B. T.-B. and C. C. A. in T. I. Jaisankar (Eds.), Biodiversity and Climate Change Adaptation in Tropical Islands (pp. 127–144). Academic Press. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-0-12-813064-3.00005-3

Ali, A., Ormond, R., Leujak, W., & Siddiqui, P. J. A. (2014). Distribution, Diversity and Abundance of Coral Communities in the Coastal Waters of Pakistan. Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom, 94(1), 75–84.

Aritsara, A. N. A., & Cao, K.-F. (2020). Structural Organization in Palm Stems of Roystonea Regia and Archontophoenix Alexandrae. IAWA Journal, 42(1), 64–80.

Aroca, R., Porcel, R., & Ruiz-Lozano, J. M. (2012). Regulation of root water uptake under abiotic stress conditions. Journal of Experimental Botany, 63(1), 43–57. https://doi.org/10.1093/jxb/err266

Babcock, R. C. (1984). Reproduction and distribution of Two Species of Goniastrea (Scleractinia) from the Great Barrier Reef Province. Coral Reefs, 2, 187–195.

Barau, F., Nuryanti, S., & Pursitasari, D. (2015). MINYAK JEALANTAH Noni ( Morinda citrifolia L .) Fruit as Adsorbent for Cooking Oil. 4(February), 8–16.

Bashirzadeh, M., Soliveres, S., Farzam, M., & Ejtehadi, H. (2022). Plant–Plant Interactions Determine Taxonomic, Functional and Phylogenetic Diversity in Severe Ecosystems. Global Ecology and Biogeography, 31(4), 649–662.

Bonham, K., & Held, E. E. (1963). Ecological Observations on the Sea Cucumbers Holothuria atra and H. leucospilota at Rongelap Atoll, Marshall Islands.

Bordbar, S., Anwar, F., & Saari, N. (2011). High-value Components and Bioactives from Sea Cucumbers for Functional Foods—a Review. Marine Drugs, 9(10), 1761–1805.

Celis-Pla, P. S. M., Hall-Spencer, J. M., Horta, P. A., Milazzo, M., Korbee, N., Cornwall, C. E., & Figueroa, F. L. (2015). Macroalgal Responses to Ocean Acidification Depend on Nutrient and Light Levels. Frontiers in Marine Science, 2, 26.

Conand, C. (1996). Asexual Reproduction by Fission in Holothuria atra: Variability of Some Parameters in Populations from the Tropical Indo-Pacific. Oceanologica Acta, 19(3–4), 209–216.

Dalimartha, S. (2000). Atlas tumbuhan obat Indonesia (Vol. 2). Puspa Swara.

Drake, J. L., Mass, T., Haramaty, L., Zelzion, E., Bhattacharya, D., & Falkowski, P. G. (2013). Proteomic Analysis of Skeletal Organic Matrix from the Stony coral Stylophora pistillata. Proceedings of the National Academy of Sciences, 110(10), 3788–3793.

Duffy, J. E., Cardinale, B. J., France, K. E., McIntyre, P. B., Thébault, E., & Loreau, M. (2007). The Functional Role of Biodiversity in Ecosystems: Incorporating Trophic Complexity. Ecology Letters, 10(6), 522–538.

Edmunds, P. J. (1999). The Role of Colony Morphology and Substratum Inclination in the Success of Millepora alcicornis on Shallow Coral Reefs. Coral Reefs, 18(2), 133–140. https://doi.org/10.1007/s003380050167 Fandeli, C. (2000). Pengertian dan Konsep Dasar Ekowisata. In UGM Press. UGM Press.

Farianti, L., Irawan, H., & Pratomo, A. (2015). Pola Hubungan Antara Jenis Anemon Dengan Ikan Badut (Amphiprioninae) Di Perairan Daerah Pulau Pucung Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Repository UMRAH.

García-Arredondo, A., Rojas, A., Iglesias-Prieto, R., Zepeda-Rodriguez, A., & Palma-Tirado, L. (2012). Structure of Nematocysts Isolated from the Fire Corals Millepora alcicornis and Millepora complanata (Cnidaria: Hydrozoa). Journal of Venomous Animals and Toxins Including Tropical Diseases, 18, 109–115.

Grandcourt, E. M. (2007). Corals and Coral Reefs. Marine Environment and Resources of Abu Dhabi. Environment Agency-Abu Dhabi (EAD) and Motivate Publishing, Abu Dhabi, 118–161.

Harjadi, B. (2017). Peran Cemara Laut (Casuarina equisetifolia) Dalam Perbaikan Iklim Mikro Lahan Pantai Berpasir Di Kebumen (The role of Casuarina equisetifolia on micro climate improvement of sandy beach land at Kebumen). Jurnal Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 1(2), 73–81.

Hassan, M. K., Jintana, V., Kuittinen, S., & Pappinen, A. (2018). Management practices and aboveground biomass production patterns of Rhizophora apiculata plantation: study from a mangrove area in Samut Songkram province, Thailand. BioResources, 13(4), 7826–7850.

Hayes, F. E., & Painter, B. J. (2016). Ectosymbionts of the Sea Anemone Stichodactyla gigantea at Kosrae, Micronesia. Animal Systematics, Evolution and Diversity, 32(2), 112–117.

Hector, A., Joshi, J., Lawler, S., Spehn, E. M., & Wilby, A. (2001). Conservation Implications of the Link Between Biodiversity and Ecosystem Functioning. Oecologia, 129, 624–628.

Henderson, F. M. (2006). Morphology and Anatomy of Palm Seedlings. The Botanical Review, 72(4), 273–329. Heyne, K. (1987). Tumbuhan Berguna Indonesia II. In Badan Litbang Kehutanan.

Kamal, S., & Mahdi, N. (2017). Keanekaragaman Karang di Zona Litoral Perairan Iboih Kecamatan Sukakarya Kota Sabang. BIOTIK: Jurnal Ilmiah Biologi Teknologi Dan Kependidikan, 3(1), 45–56.

Keenan, C., Davie, P. J. F., & Mann, D. L. (1998). A Revision of the Genus Scylla de Haan, 1833 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology, 46, 217–245.

Keene, M., & Blumstein, D. T. (2010). Environmental Education: A Time of Change, a Time for Change. Evaluation and Program Planning, 33(2), 201–204.

Kristiani, G. O. (2018). Kemampuan Ekstrak Daun Kedondong (Spondias dulcis Forst.) Sebagai Larvasida Nabati terhadap Larva Instar III Culex quinquefasciatus. Jurnal Penelitian Sains, 20(2), 37–39.

Le Pennec, G., Perovic, S., Ammar, M. S. A., Grebenjuk, V. A., Steffen, R., Brümmer, F., & Müller, W. E. G. (2003). Cultivation of Primmorphs from the Marine Sponge Suberites domuncula: Morphogenetic Potential of Silicon and Iron. Journal of Biotechnology, 100(2), 93–108. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/S0168-1656(02)00259-6

Leung, J. Y. S., Russell, B. D., & Connell, S. D. (2019). Adaptive Responses of Marine Gastropods to Heatwaves. One Earth, 1(3), 374–381. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.oneear.2019.10.025

Liu, Y., Liao, X., Han, T., Su, A., Guo, Z., Lu, N., He, C., & Lu, Z. (2021). Full-Length Transcriptome Sequencing of the Scleractinian Coral Montipora foliosa Reveals the Gene Expression Profile of Coral–Zooxanthellae Holobiont. Biology, 10(12), 1274.

Lyons, K. G., Brigham, C. A., Traut, B. H., & Schwartz, M. W. (2005). Rare Species and Ecosystem functioning. Conservation Biology, 19(4), 1019–1024.

M. J Datiles. (2015). Pandanus tectorius (screw pine) (p. 25).

Macurda Jr, D. B., & Meyer, D. L. (1977). Crinoids of West Indian Coral Reefs: Reef Biota.

Meyer, D. L., & Macurda Jr, D. B. (1976). Distribution of Shallow-Water Crinoids near Santa Marta, Colombia. Mindawati, N. (2019). 100 Spesies Pohon Nusantara: Target Konservasi Ex Situ Taman Keanekaragaman Hayati. IPB Press. Müller, W. E. G., Belikov, S. I., Tremel, W., Perry, C. C., Gieskes, W. W. C., Boreiko, A., & Schröder, H. C. (2006). Siliceous Spicules in Marine Demosponges (Example Suberites domuncula). Micron, 37(2), 107–120. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.micron.2005.09.003

Pangemanan, L. P. L. (2008). Beberapa Jenis Palem yang Berpotensi Sebagai Tanaman Pengisi Ruang Terbuka Hijau. Ekoton, 8(2).

Pasaribu, N. B. (2017). Makanan Dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau (Scylla Serrata Forskal 1779) Di Perairan Kampung Sentosa Barat Kelurahan Belawan Sicanang Kecamatan Medan Belawan. Universitas Sumatera Utara.

Rao, D. S., James, D. B., Girijavallabhan, K. G., Muthusamy, S., & Najmuddin, M. (1985). Biotoxicity in Echinoderms. Journal of the Marine Biological Association of India, 27(1&2), 88–96.

Richards, Z. T., Miller, D. J., & Wallace, C. C. (2013). Molecular Phylogenetics of Geographically Restricted Acropora Species: Implications for Threatened SpeciesConservation. Molecular Phylogenetics and Evolution, 69(3), 837–851. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.ympev.2013.06.020

Rushdi, M. I., Abdel-Rahman, I. A. M., Saber, H., Attia, E. Z., Madkour, H. A., & Abdelmohsen, U. R. (2021). A Review on the Pharmacological Potential of the Genus Padina. South African Journal of Botany, 141, 37–48. https://doi.org/https://doi.org/10.1016/j.sajb.2021.04.018

Sahusilawane, H. A., & Soelistyowati, D. T. (2021). Karakteristik Morfometerik dan Meristic Lima Jenis Ikan Badut (Amphiprion sp.) dari Pulau Ambon. Jurnal Perikanan, 11(1), 79–88.

Salsabila, A., Oktavia, A., Dewi, F. M., Purwani, Y., & Salsabil, F. (2022). Nilai Manfaat Ekonomi Tanaman Kelapa ( Cocos nucifera L .) di Pasar Tradisional Kemiri Muka di Kota Depok , Jawa Barat Value of The Economic Benefits of Coconut ( Cocos nucifera L .) in The Traditional Market of Kemiri Muka in The City of Depok , West Jav. Prosiding Seminar Nasional Biologi, 2(1), 242–251.

Sari, C. Y. (2015). Menurunkan Tekanan Darah Tinggi. J Majority, 4(3), 34–40.

Silberfeld, T., Bittner, L., Fernández‐García, C., Cruaud, C., Rousseau, F., De Reviers, B., Leliaert, F., Payri, C. E., & De Clerck, O. (2013). Species Diversity, Phylogeny and Large Scale Biogeographic Patterns of the Genus Padina (Phaeophyceae, Dictyotales). Journal of Phycology, 49(1), 130–142.

Siregar, I. G., Lantang, D., & Chrystomo, L. Y. (2022). Analisis Golongan Metabolit Sekunder Ekstrak Etanol Kulit Batang Cemara Laut (Casuarina equisetifolia L.) dan Cemara Gunung (Casuarina junghuhniana Mig.). Jurnal Biologi Papua, 14(2), 143–149. https://doi.org/10.31957/jbp.1687

Smith, N. J. H., Williams, J. T., Plucknett, D. L., & Talbot, J. P. (2018). Tropical forests and their crops. Cornell University Press.

Steenis, C. G. G. J. van, & Eyma, P. J. (1988). Flora untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita.

Suad, L. M., Suryadarma, I., & Suhartini, S. (2017). EKSISTENSI DAN DISTRIBUSI BERINGIN (Ficus spp.) SEBAGAI MITIGASI PENCEMARAN UDARA DI KOTA YOGYAKARTA. Kingdom (The Journal of Biological Studies), 6(3), 165–173. https://doi.org/10.21831/kingdom.v6i3.6814

Suryanti, I. A. P., Artawan, I. K., & Martriani, N. A. T. (2016). Potensi ekstrak kasar biji lamtoro gung (Leucaena leucocephala) untuk menurunkan glukosa darah tikus putih. Prosiding Seminar Nasional MIPA, 287–295.

Thomson, L. A. J., & Evans, B. (2006). Terminalia catappa (tropical almond) Combretaceae (combretum family). Species Profiles for Pacific Island Agroforestry, ver.2.2(April), 1–20. http://agroforestry.net/tti/T.catappa-tropical-almond.pdf

van Valkenburg, J., & Waluyo, E. B. (1991). Terminalia catappa L. Plant Resources of South-East Asia: Dye and Tannin-Producing Plants. Wageningen, 3, 120–122.

Verheij, E. W. M., & Coronel, R. E. (1997). Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2: Buah-buahan yang dapat dimakan. PROSEA–Gramedia.

Wardah, W., & Setyowati, F. M. (2009). Ethnobotanical Study on the Genus Pandanus L. f. in Certain Areas in Java, Indonesia. Biodiversitas Journal of Biological Diversity, 10(3).

Ware, M., Garfield, E. N., Nedimyer, K., Levy, J., Kaufman, L., Precht, W., Winters, R. S., & Miller, S. L. (2020). Survivorship and Growth in Staghorn Coral (Acropora cervicornis) Outplanting Projects in the Florida Keys National Marine Sanctuary. PLoS One, 15(5), e0231817.

Westbroek, P., Yanagida, J., & Isa, Y. (1980). Functional Morphology of Brachiopod and Coral Skeletal Structures Supporting Ciliated Epithelia. Paleobiology, 6(3), 313–330.

Win, N.-N.-, Wai, M.-K.-, Geraldino, P. J. L., Liao, L. M., Aye, C.-T. P. P., Mar, N. N., Hanyuda, T., Kawai, H., & Tokeshi, M. (2022). Taxonomy and Species Diversity of Padina (Dictyotales, Phaeophyceae) from the Indo-Pacific with the Description of Two New Species. European Journal of Phycology, 57(1), 1–17. https://doi.org/10.1080/09670262.2021.1883742

Zimmermann, M. H., & Tomlinson, P. B. (1965). Anatomy of the palm Rhapis excelsa: I. Mature vegetative axis. Journal of the Arnold Arboretum, 46(2), 160–180.

start.txt · Last modified: 2023/11/01 05:26 by hilmy015_gmail.com

Donate Powered by PHP Valid HTML5 Valid CSS Driven by DokuWiki